ABSTRAK
Peneliti mempelajari efek dari bakteri
asam laktat, Pediococcus acidilactici (jenis
MA 18/5M, CNCM), sebagai probiotik diet pada kinerja pertumbuhan dan beberapa
aspek gizi dan mikrobiologis dari udang L.
Stylirostris. Penelitian ini dilakukan lebih dari 10 minggu, dengan
menggunakan keramba jaring apung dari 14 set m2 masing–masing di tambak pada sebuah budidaya
di Kaledonia Baru yang dipengaruhi oleh “ Sindrom Musim Panas”, sebuah
septikemia yang disebabkan oleh V.
Nigripulchritudo. Rancangan percobaan, probiotik dicampur pakan pelet
terhadap replikasi kontril di dua tambak. Mortalitas tinggi, karakteristik sindrom musim panas, yang diamati selama 2
minggu pertama penelitian. Produksi probiotik ditingkatkan pada keramba
perlakuan dari kedua tambak dengan peningkatan tingkat kelangsungan hidup
(masing-masing 7% dan 15%) dan biomassa akhir (masing-masing 8% dan 12%). Tidak
ada perbedaan antara perlakuan pada kinerja pertumbuhan, tetapi FCR lebih
rendah diperoleh pada perlakuan
pemberian probiotik. Setelah 5 minggu pemeliharaan, Hepatosomatic Indeks dan
berat kering disesuaikan secara signifikan meningkat sebesar masing-masing 10%
dan 9% pada udang yang diberi probiotik. Sementara itu, kegiatan spesifik dari
α amilase dan tripsin dalam kelenjar pencernaan menunjukan dampak yang
signifikan dari perlakuan probiotik dengan peningkatan masing-masing sebesar
35% dan 55%. Kenaikan total aktivitas tripsin pemberian pakan pagi dan juga
ditingkatkan perlakuan probiotik (P<0,001).
Kosentrasi tertinggi dari probiotik
(antara 104-105 CFU g-1 dari usus segar) dalam
usus udang diperoleh 2 jam setelah pemberian pakan. Kosentrasi tetap tinggi
selama 4 jam setelah pemberian pakan sebelum penurunan sampai jam pemberian
pakan berikutnya. Jumlah bakteri pada marine agar dan TCBS dalam usus secara
signifikan mengalami penurunan pada perlakuan probiotik selama 10 minggu
penelitian. Selain itu, selama 2 minggu pertama dan prevalensi beban jenis V. Nigripulchritudo di haemolymp lebih
rendah pada hewan diberi pakan dengan diet probiotik.
Penelitian ini menunjukan, pada kondisi
tambak, bahwa memberi pakan udang yang mengandung bakteri asam laktat dapat
menjadi perlakuan yang efektif untuk meningkatkan budidaya udang dipengaruhi
oleh vibriosis.
1.
Pendahuluan
Vibriosis saat ini merupakan
salah satu penyakit utama yang
mempengaruhi
budidaya dan wabah yang menyebabkan kegagalan panen di negara utama penghasil udang (Lightner, 1988; Lin, 1995). Di Caledonia Baru, pembudidaya udang menghadapi dua penyakit bakteri asal: "Sindrom 93" (pengertian, gejala klinis, tingkat mortalitas, dan inang) (Le Groumellec et al, 1996.) dan "Summer sindrom" (pengertian, gejala klinis, tingkat mortalitas, dan inang) (Goarant et al, 2006.). Dalam beberapa tahun terakhir, kontrol biologis penyakit dengan metode ramah lingkungan seperti probiotik telah menjadi subjek penting pada investigasi dalam penelitian akuakultur. Beberapa tinjauan (Garriques dan Arevalo, 1995, Gatesoupe, 1999;. Vershuere et al, 2000, Gomez-Gil et al, 2001;. Irianto dan Austin, 2002; Vine et al, 2006.) secara detail menjelaskan berbagai perkembangan yang dibuat dalam penggunaan probiotik dalam budidaya spesies akuatik, termasuk udang. Penggunaan bakteri probiotik kini umumnya diterima oleh pembudidaya udang. Bakteri utama yang direkomendasikan dalam pemeliharaan udang adalah probiotik jenis Bacillus spp. (Moriarty, 1998; Ziaei-Nejad et al, 2006.) seperti Bacillus subtilis (manfaat dan mekanisme untuk memberikan manfaatnya) (Vaseeharan dan Ramasamy, 2003, Moriarty, 1999) atau bakteri jenis Gram-negatif (jenis bakteri yang biasa digunakan) (Garriques dan Arevalo, 1995; Alavandi et al, 2004;. Vijayan et al, 2006.). Namun, saat ini peraturan mewajibkan untuk mendapatkan otorisasi untuk aplikasi zootechnical dari mikro-organisme hidup, penggunaan bakteri yang telah diidentifikasi akan cenderung semakin diperluas untuk budidaya (Gatesoupe,
2002b). Karena bakteri asam laktat (BAL) merupakan probiotik yang sering digunakan dalam nutrisi hewan darat, penggunaannya sebagai probiotik telah diusulkan untuk spesies akuatik (Gatesoupe,1991, 2002a: Ringo dan Gatesoupe, 1998). BAL berpotensi memiliki beberapa keuntungan diantaranya: dapat merangsang pertumbuhan mikro-organisme, menyingkirkan bakteri berbahaya dan memperkuat pertahanan bagi organisme alami (Vandenbergh,1993, Villamil et al, 2002).. Penelitian menunjukkan efek pada spesies akuatik umumnya dari jenis Lactobacillus acidophilus, L. sporogenes, L. rhamnosus, L. plantarum., Carnobacterium divergens sp, Lactococcus lactis. dan Pediococcus acidilactici (Strom dan Ringo, 1993; Gatesoupe, 1991, 2002a; Gatesoupe et al, 1989;. Gildberg et al, 1995, 1997.; Nikoskelainen et al, 2001;. Planas et al, 2004). Namun, hanya beberapa laporan tentang penggunaan bakteri tersebut pada udang telah didokumentasikan (Uma et al, 1999;. Venkat et al, 2004).
budidaya dan wabah yang menyebabkan kegagalan panen di negara utama penghasil udang (Lightner, 1988; Lin, 1995). Di Caledonia Baru, pembudidaya udang menghadapi dua penyakit bakteri asal: "Sindrom 93" (pengertian, gejala klinis, tingkat mortalitas, dan inang) (Le Groumellec et al, 1996.) dan "Summer sindrom" (pengertian, gejala klinis, tingkat mortalitas, dan inang) (Goarant et al, 2006.). Dalam beberapa tahun terakhir, kontrol biologis penyakit dengan metode ramah lingkungan seperti probiotik telah menjadi subjek penting pada investigasi dalam penelitian akuakultur. Beberapa tinjauan (Garriques dan Arevalo, 1995, Gatesoupe, 1999;. Vershuere et al, 2000, Gomez-Gil et al, 2001;. Irianto dan Austin, 2002; Vine et al, 2006.) secara detail menjelaskan berbagai perkembangan yang dibuat dalam penggunaan probiotik dalam budidaya spesies akuatik, termasuk udang. Penggunaan bakteri probiotik kini umumnya diterima oleh pembudidaya udang. Bakteri utama yang direkomendasikan dalam pemeliharaan udang adalah probiotik jenis Bacillus spp. (Moriarty, 1998; Ziaei-Nejad et al, 2006.) seperti Bacillus subtilis (manfaat dan mekanisme untuk memberikan manfaatnya) (Vaseeharan dan Ramasamy, 2003, Moriarty, 1999) atau bakteri jenis Gram-negatif (jenis bakteri yang biasa digunakan) (Garriques dan Arevalo, 1995; Alavandi et al, 2004;. Vijayan et al, 2006.). Namun, saat ini peraturan mewajibkan untuk mendapatkan otorisasi untuk aplikasi zootechnical dari mikro-organisme hidup, penggunaan bakteri yang telah diidentifikasi akan cenderung semakin diperluas untuk budidaya (Gatesoupe,
2002b). Karena bakteri asam laktat (BAL) merupakan probiotik yang sering digunakan dalam nutrisi hewan darat, penggunaannya sebagai probiotik telah diusulkan untuk spesies akuatik (Gatesoupe,1991, 2002a: Ringo dan Gatesoupe, 1998). BAL berpotensi memiliki beberapa keuntungan diantaranya: dapat merangsang pertumbuhan mikro-organisme, menyingkirkan bakteri berbahaya dan memperkuat pertahanan bagi organisme alami (Vandenbergh,1993, Villamil et al, 2002).. Penelitian menunjukkan efek pada spesies akuatik umumnya dari jenis Lactobacillus acidophilus, L. sporogenes, L. rhamnosus, L. plantarum., Carnobacterium divergens sp, Lactococcus lactis. dan Pediococcus acidilactici (Strom dan Ringo, 1993; Gatesoupe, 1991, 2002a; Gatesoupe et al, 1989;. Gildberg et al, 1995, 1997.; Nikoskelainen et al, 2001;. Planas et al, 2004). Namun, hanya beberapa laporan tentang penggunaan bakteri tersebut pada udang telah didokumentasikan (Uma et al, 1999;. Venkat et al, 2004).
Informasi yang tersedia pada probiotik P. acidilactici MA 18/5M (Bactocell ®) menyediakan keamanan meyakinkan back-up
(“Generally Recognized
as Safe” (GRAS) and “Qualified Presumption of Safety” (QPS) status) dan bukti efektivitas
bakteri sejak digunakan telah disahkan oleh komite Eropa untuk beberapa spesies
darat (E1712 untuk ayam broiler dan E1712 untuk penggemukan babi). Selain itu, evaluasi efek pertama pada spesies
Litopenaeus stylirostris dikembangkan
di Kaledonia Baru yang mempunyai hasil menjanjikan yang ditunjukkan dalam hal
pertumbuhan dan kelangsungan hidup Udang yang terinfeksi Syndrome 93 (Chim
et al, 2005;.. Castex et al, 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jenis probiotik P. Acidilactici MA 18/ 5M pada skala pilot, menggunakan keramba jaring apung sebagai alat asli untuk keperluan eksperimental.
Investigasi kami berfokus pada hasil
zootechnical, status nutrisi dan usus mikroflora dari udang
biru, L. stylirostris, dipelihara
di 20 keramba jaring apung ditancapkan di dua tambak
yang saat ini dipengaruhi oleh
sindrom musim panas.
Gambar
1
Gambar 1. Temperatur
air rata-rata di tambak A dan B selama periode experiment. Batas atas dan bawah dari preferendum L. stylirostris termal
ditunjukkan dalam garis media abu-abu.
2.
Bahan dan Metode
2.1. Situs
budidaya, periode penelitian dan suhu
Penelitian
ini dilakukan di
dua tambak dari
10
ha
(tambak
A
dan tambak
B) dari akuakultur semi-intensif terletak di Bourake, Kaledonia Baru (21 ° 55 'Selatan; 165 ° 57 'Timur) yang dipengaruhi oleh sindrom musim panas sejak tahun 1997. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 minggu pada tahun 2006, dari April hingga Juni, pada periode ini biasanya wabah penyakit terjangkit.
B) dari akuakultur semi-intensif terletak di Bourake, Kaledonia Baru (21 ° 55 'Selatan; 165 ° 57 'Timur) yang dipengaruhi oleh sindrom musim panas sejak tahun 1997. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 minggu pada tahun 2006, dari April hingga Juni, pada periode ini biasanya wabah penyakit terjangkit.
Suhu air selama
penelitian (Gambar 1) adalah dalam termal
preferendum pada L. stylirostris (Wabete, 2005) kecuali untuk 2 minggu pertama ketika suhu naik di atas batas atas dari preferendum ini.
preferendum pada L. stylirostris (Wabete, 2005) kecuali untuk 2 minggu pertama ketika suhu naik di atas batas atas dari preferendum ini.
2.2. Pemeliharaan
udang
2.2.1. Pemeliharaan
di tambak
Udang
yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pregrown
pertama di
dua tambak:
pada tanggal 21 Februari, tambak A dan B dari budidaya ditebar dengan kepadatan masing-masing 17 dan 18 post larva (PL) m-2 udang yang
berasal dari batch hatchery yang sama. Udang-udang yang dipelihara sesuai dengan standar semi intensive dari praktek budidaya di
Kaledonia Baru sampai udang
mencapai ukuran yang
diinginkan.
Udang
diberi pakan
dua kali sehari
dengan
pakan
komersial.
Pakan
yang diberikan disesuaikan oleh
staf teknisi
budidaya
sesuai dengan hasil berat badan yang
diperkirakan mingguan ,
tingkat
kelangsungan hidup dan
jumlah pakan
yang tersisa
di ancho setelah 2 jam.
2.2.2. Pembenihan
dan
pemeliharaan
di
keramba jaring apung
Dua puluh keramba jaring apung dari 14 m2
permukaan jaring atau 4 m3 masing-masing yang digunakan telah dijelaskan
dalam penelitian sebelumnya (Chim et al., 2007). Tiga puluh enam dan tiga puluh tujuh
hari setelah penebaran di tambak, udang yang dipelihara di keramba diambil dari
tambak yang sama, berjumlah 400 ekor dengan kepadatan 29 ekor. Kepadatan ini
telah ditentukan berdasarkan skema pengambilan sampel agar tidak mempengaruhi
tingkat kelangsungan hidup akhir (BOUYER, 1997). Kepadatan di keramba lebih
tinggi dari tambak, tapi tidak terlalu penting karena tujuan dari penelitian
ini adalah untuk tidak membandingkan kedua sistem tersebut (tambak vs keramba).
Bobot awal rata-rata udang adalah 3,4 g
± 0,57 (SD) untuk tambak A dan 2,7 g ± 0,68 (SD) untuk tambak B.
Udang
diberi makan dalam ancho dua kali sehari,
jam 8:00 dan jam
3:00
pagi. Tingkat kosumsi pakan disesuaikan untuk setiap keramba sesuai dengan pakan yang tersisa setelah 2 jam.
pagi. Tingkat kosumsi pakan disesuaikan untuk setiap keramba sesuai dengan pakan yang tersisa setelah 2 jam.
2.3. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian
yang digunakan adalah rancangan acak,
berdasarkan
penelitian sebelumnya
(Chim et al, 2007.), dengan dua perlakuan
yaitu diet standar vs diet dilengkapi
dengan probiotik. Setiap kelompok terdiri dari 5 ulangan: 5 keramba kontrol (keramba C) dan 5 keramba dilengkapi diet probiotik (Keramba P). Total 20 Keramba jaring apung dapat dilihat
pada tabel 1. Unit Eksperimental dan efek diuji secara rinci
dalam bagian analisis statistik berikut ,
Pakan yang mengandung probiotik
diberi pada
tanggal 5 April (hari
0),
1
minggu setelah udang di
tebar ke keramba.
Sebelumnya,
semua
udang
telah menerima
standar komersial
diet sama.
Sampel
udang mingguan pada keramba
C dan keramba
P, tambak A dan tambak
B
dan setiap sampel
hanya diambil sekali
dalam
penelitian. Setiap sampel
terdiri
dari
2
kelompok
dari 15
udang,
kelompok pertama
adalah sampel
1
jam
sebelum pemberian makan
(7:00 am)
dan
sampel
kedua
2
jam
setelah pemberian makan (10:00
am).
Udang ditangkap
dengan
jala. Sampel
segera
ditempatkan di wadah steril masing-masing
wadah berisi 5 udang.
dikemas
dalam pendingin
dan dibawa ke laboratorium
dalam waktu 30
menit.
Pada hari
ke-65
dari
penelitian
(9
minggu)
para peneliti melakukan tindak lanjut
dengan sampling
udang
setiap 2
jam
(7:00-9:00)
dalam satu keramba untuk setiap
perlakuan.
Seperti dijelaskan
di bawah ini,
sampel udang di
keramba
digunakan
untuk beberapa
analisis. Selain
itu, 30 sampel udang yang mingguan di setiap tambak, di
luar keramba, hanya untuk analisis mikrobiologi
di haemolyph tersebut.
2.4. Pakan
udang dan
probiotik
Udang
di
keramba
diberi makan
dengan
pakan komersial
yang sama
yang digunakan
dalam tambak,
yang dibeli dari
perusahaan
Moulins
de
Saint
Vincent
(MSV),
Caledonia
baru.
Persiapan
probiotik
komersial yang
diuji
adalah
Bactocell
®
PA
10 (Lallemand
Nutrisi Hewan
SA,
Blagnac, Prancis)
dirumuskan
dengan P. acidilactici MA
18/5M
(Institut
Pasteur,
Paris,
Perancis).
Konsentrasi
yang digunakan dalam penelitian
ini
efektifitas telah
ditentukan sebelumnya
(Castex
et
al.,
2006).
Untuk
kelompok perlakuan,
1
g
kg-1
dari
probiotik (bentuk
bubuk) topcoated
pada pelet
menggunakan
3%
minyak ikan
sebagai pembawa,
memberikan
konsentrasi akhir dari
9,7
±
1,1
106
CFU
P. acidilactici per
gram dari
diet.
Konsentrasi
probiotik dalam pakan
secara sistematis
diperiksa
setelah pengolahan
dengan menghitung jenis P. acidilactici di
piring MRS
menggunakan
pengenceran
serial. Diet
kontrol juga dilapisi
dengan
minyak ikan
3%,
sebelum digunakan,
periksa agar tidak terkontaminasi oleh jenis probiotik. Kemudian pakan disimpan 5 liter dalam kotak pada suhu 20°C
sampai pakan tersebut digunakan. Periode penyimpanan tidak melebihi 15 hari,
untuk menjamin jumlah probiotik yang sama dalam pakan pada seluruh perlakuan, karena
kami menetapkan bahwa kosentrasi P. Acidilactici
dalam pakan udang mulai menurun secara signifikan setelah periode ini (data
tidak dipublikasikan).
2.5. Parameter Zootechnical
Tingkat kelangsungan
hidup akhir
dihitung untuk
setiap keramba
dengan menghitung
jumlah udang yang tersisa dan membandingkannya dengan stok awal, termasuk
30 sampel udang per keramba. Hal ini disepakati bahwa statistik sampel kurang dari
10% dari populasi awal tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (BOUYER, 1997).
Bobot
tubuh individu
dicatat 10%
dari jumlah populasi
dan
untuk semua
udang
yang tersisa
pada
akhir penelitian.
Sampel udang mingguan
juga ditimbang.
Pada akhirnya,
berat bobot
akhir,
biomassa dan
rasio konversi pakan
(FCR)
dapat ditentukan.
2.6. Tahap
molting
Tahap
molting
(Drach
dan
Tchernifovtzeff,
1967)
sampel udang
tercatat.
Udang
Hanya
dalam tahap
intermoult
(C-D0)
anggapan untuk status nutrisi
dan analisis
mikrobiologi.
2.7. Status
nutrisi
2.7.1. Hepatosomatic
indeks dan hepatopankreas disesuaikan berat kering
Hepatopankreas
dikenal sebagai
organ
penyimpanan utama
pada udang
(Luvizotto-Santos et al, 2003.), Dan karena itu umumnya diterima sebagai indikator status nutrisi. Sampel udang yang dibedah dan hepatopankreas dipindahkan secara hati-hati dan ditimbang (berat basah). Hepatosomatic indeks (HSI) dihitung secara individual sebagai rasio antara berat basah hepatopankreas dan berat total bobot basah. Sampel kemudian dibekukan pada suhu -80 ° C sebelum langkah pembekuan kering (Alpha 1-2/LD aparatus, Fisher Scientific Bioblock, 48 jam pada suhu -55 ° C) dan kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering. Berat kering hepatopankreas, disesuaikan dengan berat basah, dibandingkan antara perlakuan dan digunakan sebagai indeks pelengkap untuk mengevaluasi status nutrisi udang. Hubungan linear antara bobot segar dan bobot kering kelenjar pencernaan (R2 = 90,7, dalam hal ini) memungkinkan hepatopankreas berat kering yang akan dibandingkan dengan berat segar seperti covariable,menggunakan analisis kovarians (Sokal dan Rohlf, 1995).
(Luvizotto-Santos et al, 2003.), Dan karena itu umumnya diterima sebagai indikator status nutrisi. Sampel udang yang dibedah dan hepatopankreas dipindahkan secara hati-hati dan ditimbang (berat basah). Hepatosomatic indeks (HSI) dihitung secara individual sebagai rasio antara berat basah hepatopankreas dan berat total bobot basah. Sampel kemudian dibekukan pada suhu -80 ° C sebelum langkah pembekuan kering (Alpha 1-2/LD aparatus, Fisher Scientific Bioblock, 48 jam pada suhu -55 ° C) dan kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering. Berat kering hepatopankreas, disesuaikan dengan berat basah, dibandingkan antara perlakuan dan digunakan sebagai indeks pelengkap untuk mengevaluasi status nutrisi udang. Hubungan linear antara bobot segar dan bobot kering kelenjar pencernaan (R2 = 90,7, dalam hal ini) memungkinkan hepatopankreas berat kering yang akan dibandingkan dengan berat segar seperti covariable,menggunakan analisis kovarians (Sokal dan Rohlf, 1995).
2.7.2. Protein
dan uji enzim
Selama satu hari tindak lanjut di keramba, sampel
hepatopancreas dibekukan sekaligus dalam
nitrogen cair dan disimpan pada suhu -80 ° C sampai uji enzim dilakukan. Hanya
Udang di intermoult (tahap C-D0) yang digunakan, karena pencernaan aktivitas
enzim ada perubahan pada tahap molting (Fernández et al., 1997). Hepatopankreas
ini, sebelumnya ditimbang, kemudian dihomogenkan secara individual di Tris 10 mM
buffer, pH 7,4 dengan suatu ultraturrax dan disentrifugasi selama 10 menit pada
4000 rpm pada suhu 4 ° C. Protein diperkirakan menurut Lowry et al. (1951)
dengan BSA standar. Tripsin diuji oleh aktivitas amidase dengan menggunakan
benzoil- Arginine-p-nitroanalide (BAPNA) sebagai substrat mengikuti metode Erlanger
et al. (1961) dan García-Carreño et al. (1994). Uji
dimulai dengan penambahan
sampel supernatan
dan pelepasan
p-nitroanalide
adalah diukur pada
410
nm
lebih dari 15
menit.
Sebuah
kontrol positif
dari
3
tripsin
ml-1
mg (SIGMA)
yang
digunakan.
Unit
BAPNA
dievaluasi
sesuai
dengan
Haard et
al.
(1996).
Satu unit
aktivitas yang
dinyatakan sebagai
1
umol
dari
p-nitroanilide
merilis
min-1.
Aktifitas Amilase
α
diuji oleh Bernfeld
(1955)
metode, menggunakan pati terlarut 1% (SIGMA) sebagai substrat dalam
buffer fosfat 20 mM, pH 7 dan bereaksi dengan 3,5 asam-dinitrosalisilat. Satu unit aktifitas enzimatik
didefinisikan sebagai 1 mg maltosa dibebaskan dalam 15 menit pada suhu
37 °C. Aktivitas enzim keduanya sebagai total (U / mg organ) dan spesifik (U / mg protein).
2.8. Analisys
Mikrobiologi
2.8.1. Haemolymph
Haemolymph
dikumpulkan, setelah udang dicuci dengan
air laut steril,
dari rongga sinus-ventral (darah vena) dengan menggunakan jarum steril 1 ml dan
jarum suntik. Sampel kemudian disebar pada marine agar (w / v) ditambahkan gliserol 2% (MAG), di mana koloni V. nigripulchritudo menghasilkan pigmen hitam (Baumann dan Schubert, 1984). Media diinkubasi selama 72 jam sampai 96 jam pada suhu 29 °C. Jumlah koloni V. nigripulchritudo dihitung dan dicatat untuk setiap udang. Kemudian prevalensi ditentukan sebagai persentase terdapat satu koloni V. nigripulchritudo dan beban sebagai jumlah koloni per udang yang terinfeksi. Prevalensi dan beban ditentukan mingguan untuk sampel udang pada keramba P dan keramba C maupun di tambak.
dari rongga sinus-ventral (darah vena) dengan menggunakan jarum steril 1 ml dan
jarum suntik. Sampel kemudian disebar pada marine agar (w / v) ditambahkan gliserol 2% (MAG), di mana koloni V. nigripulchritudo menghasilkan pigmen hitam (Baumann dan Schubert, 1984). Media diinkubasi selama 72 jam sampai 96 jam pada suhu 29 °C. Jumlah koloni V. nigripulchritudo dihitung dan dicatat untuk setiap udang. Kemudian prevalensi ditentukan sebagai persentase terdapat satu koloni V. nigripulchritudo dan beban sebagai jumlah koloni per udang yang terinfeksi. Prevalensi dan beban ditentukan mingguan untuk sampel udang pada keramba P dan keramba C maupun di tambak.
2.8.2. usus
mikrobiota
Udang dibedah menggunakan gunting bedah steril untuk
menghilangkan bagian tengah dan belakang-usus (usus) (Dall, 1967). Untuk
menghindari kontaminasi eksternal sementara organ dipindahkan, permukaan setiap
udang sebelumnya dibersihkan dengan menggunakan etanol 70% (Sakata, 1989). Usus belakang dari 5 udang dikumpulkan,
ditempatkan dalam tabung steril yang mengandung 1 ml air laut steril dan
ditimbang sebelum dihomogenisasi.
Penentuan Bakteriologis dibuat menggunakan larutan
serial steril kemudian diikuti oleh
plating triplicates pada marine agar (MA), Thiosulfate citrate bile
salt agar (TCBS) and De Man, Rogosa and Sharpe agar (MRS) untuk
menentukan jumlah masing-masing bakteri laut heterotrofik, Vibrio sp dan P. acidilactici.
Setelah inkubasi (24 jam dan 48 jam pada 29 ° C untuk plate MA dan TCBS, dan 48
jam sampai 37 ° C untuk plat MRS) koloni dihitung dan dicatat. Semua hasil
disajikan sebagai unit pembentuk koloni per gram saluran pencernaan (CFU g-1).
2.9.
Analisis statistik
Data dianalisis secara statistik dengan paket
statistik View Stat (SAS Inc, Cary, NC, USA). Hasil Zootechnical dianalisis
sebagai berikut: setiap
keramba dianggap sebagai unit eksperimental dan tambak dan efek treatment dianggap sebagai efek tetap. Normalitas dan homogenitas varians terhadap semua data secara sistematis diperiksa sebelum menerapkan analisis varians satu arah atau analisis varians dua arah untuk FCR dan tingkat pertumbuhan harian
(tambak, treatment dan interaksi udang. Interaksi tambak , sistematis treatment diperiksa dan tidak pernah signifikan. Tingkat kelangsungan hidup diukur
menggunakan uji Chi-kuadrat untuk menentukan perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan analisis varians setelah transformasi persentase hidup.
keramba dianggap sebagai unit eksperimental dan tambak dan efek treatment dianggap sebagai efek tetap. Normalitas dan homogenitas varians terhadap semua data secara sistematis diperiksa sebelum menerapkan analisis varians satu arah atau analisis varians dua arah untuk FCR dan tingkat pertumbuhan harian
(tambak, treatment dan interaksi udang. Interaksi tambak , sistematis treatment diperiksa dan tidak pernah signifikan. Tingkat kelangsungan hidup diukur
menggunakan uji Chi-kuadrat untuk menentukan perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan analisis varians setelah transformasi persentase hidup.
Untuk analisis
lainnya
(mikrobiologi
dan
nutrisi),
udang
atau
tambak
dianggap sebagai unit eksperimental. Analisis ANOVA digunakan untuk membandingkan pengaruh perlakuan. Penghitungan bakteri di transformasi ke log sebelum menggunakan ANOVA. Ketika ANOVA tidak berlaku, perbandingan dibuat menggunakan uji Kruskal-Wallis.
dianggap sebagai unit eksperimental. Analisis ANOVA digunakan untuk membandingkan pengaruh perlakuan. Penghitungan bakteri di transformasi ke log sebelum menggunakan ANOVA. Ketika ANOVA tidak berlaku, perbandingan dibuat menggunakan uji Kruskal-Wallis.
Perbandingan
berpasangan
juga
dicapai dengan menggunakan Fisher
Least
Protected
significant Different (PLSD).
secara statistik
perbedaan Signifikan antara
kelompok eksperimen P<0,05.
3.
Hasil
3.1. Hasil
Zootechnical
Hasil
rata-rata untuk zootechnical udang yang dipelihara di
tambak hampir sama dengan hasil perikanan sebelumnya. Menurut hasil petani, tingkat
kelangsungan hidup diperkirakan 31% untuk
kedua tambak.
Tabel
2 merangkum hasil
zootechnical udang dipelihara dalam
keramba untuk kedua tambak. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata adalah 31,1 ± 3,4% dan 37,8 ± 4,2% untuk Keramba C di tambak A dan di tambak B (P<0.001).
Nilai-nilai yang diperoleh untuk tingkat pertumbuhan dan FCR di keramba sesuai dengan hasil rata-rata pembudidaya di Caledonia Baru (GFA, 2006). Mortalitas (jumlah udang mati ditemukan setiap hari) sesuai dengan waktu hampir sama untuk udang yang di pelihara dalam keramba dan udang yang dipelihara langsung di tambak dengan peningkatan 1 minggu setelah penelitian (Gambar 6C).
keramba untuk kedua tambak. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata adalah 31,1 ± 3,4% dan 37,8 ± 4,2% untuk Keramba C di tambak A dan di tambak B (P<0.001).
Nilai-nilai yang diperoleh untuk tingkat pertumbuhan dan FCR di keramba sesuai dengan hasil rata-rata pembudidaya di Caledonia Baru (GFA, 2006). Mortalitas (jumlah udang mati ditemukan setiap hari) sesuai dengan waktu hampir sama untuk udang yang di pelihara dalam keramba dan udang yang dipelihara langsung di tambak dengan peningkatan 1 minggu setelah penelitian (Gambar 6C).
Pemberian probiotik
secara signifikan meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup (P<0.001) dan
FCR (P<0.05) (Tabel 2). Dalam keramba P, kelangsungan
hidup lebih tinggi sebesar 7% dan
15% dan FCR rendah sebesar 8% dan 9% dibandingkan
dengan keramba C di setiap tambak A dan B.
Tidak ada
pengaruh yang signifikan pemberian
probiotik pada GR
(P>0.05),
berat akhir dari udang (P>0.05) atau biomassa akhir (P = 0,09) ditunjukkan pada salah satu tambak.
berat akhir dari udang (P>0.05) atau biomassa akhir (P = 0,09) ditunjukkan pada salah satu tambak.
3.2. Pengaruh probiotik terhadap
nutrisi
Gambar.
2 menunjukkan evolusi
HSI sebelum diberi pakan dari kedua
perlakuan (P>0.05) berat bobot
udang terlepas dari perlakuan . Dari minggu 5 sampai akhir penelitian
, secara signifikan HSI lebih
tinggi untuk perlakuan pemberian probiotik (P<0.05).
Perbedaan-perbedaan yang diamati ketika nilai rata-rata berat badan lebih tinggi dari 10 g.
Tabel
2. Hasil Zootechnical dan perbedaan significant pada keramba C (kontrol) dana
pada keramba P (pemberian probiotik) di tambak A dan B. (± standar deviasi,
n = 5; ns,
tidak signifikan,n,a tidak berlaku).
Gambar. 2. Hepatosomatic indeks, 1 jam sebelum diberi
pakan pagi, dan berat bobot sampel udang pada 4, 5, 7, 8, dan 10 minggu
pemeliharaan di keramba jaring apung untuk kontrol dan perlakuan probiotik. Indikasi
SD (n = 15). (*) mengindikasikan perbedaan yang signifikan antara perlakuan
dihitung dengan pairwise LSD Fisher Tes (* P<0.05; ** P<0.01).
Selain itu,
dibandingkan dengan keramba C, berat
kering disesuaikan dari
kelenjar pencernaan secara signifikan lebih tinggi (P<0.05) untuk udang dari keramba P dari minggu 8 sampai akhir penelitian (Tabel 3.).
kelenjar pencernaan secara signifikan lebih tinggi (P<0.05) untuk udang dari keramba P dari minggu 8 sampai akhir penelitian (Tabel 3.).
Gambar.
3 menampilkan aktivitas total dan spesifik untuk trypsin (Gambar
3A dan B) dan α amylase (Gambar 3C dan D) di dalam kelenjar pencernaan.
Dalam perlakuan kontrol, aktivitas total dan spesifik dari kedua enzim menunjukkan kecenderungan pada hari yang sama. pukul 10:00 pagi (2 jam setelah pemberian pakan pertama) meningkat
signifikan pada
aktivitas trypsin (total P<0.001, spesifik P<0.05) dan aktivitas amilase (total P<0.001,
spesifik P<0.05). Pada pukul 2:00 pm
kegiatan kembali ke tingkat awal,
kecuali untuk aktivitas amilase total yang tetap tinggi sampai 9:00 (Gambar 3C). Tidak ada
evolusi signifikan baik aktivitas enzim tercatat setelah pemberian pakan kedua (3:00 pm).
Udang
yang diberi pakan dengan probiotik, kegiatan
kedua enzim bervariasi dengan cara yang
sama seperti untuk udang kontrol,
dengan peningkatan aktivitas enzim setelah pemberian pakan pertama. Namun, perbedaan yang diamati
untuk udang yang diberi perlakuan dibandingkan dengan kontrol: (i) pukul 7:00 (sebelum diberi pakan pertama), aktivitas total dan spesifik dari trypsin dan α amylase yang secara signifikan lebih tinggi, (ii) pukul 10.00 WIB, munculnya aktivitas tripsin keseluruhan secara signifikan lebih tinggi (Gambar 3A), (iii) tingkat aktivitas kedua enzim kembali ke nilai awal pukul 12:00 bukan pukul 02:00 seperti yang dicatat untuk udang kontrol, (iv) aktivitas spesifik tripsin direkam 14:00-9:00 tetap pada tingkat lebih tinggi (P<0.05) pada perlakuan probiotik (Gambar 3B).
untuk udang yang diberi perlakuan dibandingkan dengan kontrol: (i) pukul 7:00 (sebelum diberi pakan pertama), aktivitas total dan spesifik dari trypsin dan α amylase yang secara signifikan lebih tinggi, (ii) pukul 10.00 WIB, munculnya aktivitas tripsin keseluruhan secara signifikan lebih tinggi (Gambar 3A), (iii) tingkat aktivitas kedua enzim kembali ke nilai awal pukul 12:00 bukan pukul 02:00 seperti yang dicatat untuk udang kontrol, (iv) aktivitas spesifik tripsin direkam 14:00-9:00 tetap pada tingkat lebih tinggi (P<0.05) pada perlakuan probiotik (Gambar 3B).
Tabel
3.
Gambar
3.
3.3. Flora
Mikroba pada saluran
pencernaan L.
stylirostris
3.3.1. Probiotik
P. acidilactici
tidak terdeteksi pada udang dari
keramba C. Dalam keramba P, ada
perbedaan yang signifikan untuk
konsentrasi probiotik tercatat dalam usus sebelum dan sesudah makan (Tabel 4).
Sebelum udang diberi pakan pagi, P. acidilactici biasanya tidak terdeteksi, namun ditemukan berturut-turut pada tiga kesempatan (minggu 5, 7 dan 8) dengan konsentrasi mendekati 102 CFU g-1. Dua jam setelah diberi pakan, konsentrasi P. acidilactici mencapai nilai rata-rata dari 1,3 × 104 CFU g-1
seluruh penelitian (Tabel 4). Selanjutnya
Konsentrasi probiotik dalam usus udang menurun mencapai
nilai sekitar 2,3 × 103 6
jam pasca makan
(Tabel 5).
Tabel
4 dan 5.
3.3.2. Penomoran
bakteri
Untuk
perlakuan kontrol, hasil sampling mingguan tidak
menunjukkan
pengaruh yang signifikan dari makanan pada bakteri heterotrofik total dan Vibrio dihitung dalam saluran pencernaan (Tabel 6). Jumlah bakteri sedikit meningkat selama minggu pertama penelitian hingga mencapai tingkat tinggi dan
stabil sesudahnya (Gambar 4), sedangkan vibrio, pada TCBS meningkat secara dramatis pada minggu ke 5 (P<0.001) tetap tinggi sampai akhir.
pengaruh yang signifikan dari makanan pada bakteri heterotrofik total dan Vibrio dihitung dalam saluran pencernaan (Tabel 6). Jumlah bakteri sedikit meningkat selama minggu pertama penelitian hingga mencapai tingkat tinggi dan
stabil sesudahnya (Gambar 4), sedangkan vibrio, pada TCBS meningkat secara dramatis pada minggu ke 5 (P<0.001) tetap tinggi sampai akhir.
Hasil pengambilan
sampel lebih dari 1 hari ditunjukkan pada Gambar. 5: jumlah bakteri heterotrofik dan vibrio
meningkat secara eksponensial dari pukul
7:00 pagi sampai 7:00 malam dan
menurun setelahnya. Peningkatan signifikan secara statistik, dari 2,8
× 107 CFU
g-1 ke 5,8 × 108 CFU g-1 untuk total bakteri heterotrofik dari 1,5
× 106 ke
1,8 × 107 CFU g-1
untuk vibrio. Pada
hari yang sama, suhu meningkat dari 21,5 ° C pukul 7:00 am hingga 25 ° C pada pukul 4:00.
Gambar
4.
Untuk
perlakuan probiotik, total bakteri heterotrofik dan vibrio
dihitung dalam saluran pencernaan mengikuti tren yang sama dengan perlakuan kontrol (Gambar 4 dan 5). Namun, perbedaan berikut ini dicatat: (i) pengambilan sampel mingguan menunjukkan bahwa 2 jam setelah makan , jumlah bakteri secara signifikan menurun dengan perlakuan probiotik pada kedua MA (P<0.05) dan TCBS (P<0.001) media (Gambar 4) bahkan jika variasi tersebut tidak seragam selama beberapa minggu, (ii) tindak lanjut lebih dari sehari menunjukkan bahwa penurunan yang sama terjadi setelah makan pada perlakuan yang dilengkapi dengan probiotik dan efek ini berlangsung lebih lama setelah pemberian pakan kedua (Gbr. 5).
dihitung dalam saluran pencernaan mengikuti tren yang sama dengan perlakuan kontrol (Gambar 4 dan 5). Namun, perbedaan berikut ini dicatat: (i) pengambilan sampel mingguan menunjukkan bahwa 2 jam setelah makan , jumlah bakteri secara signifikan menurun dengan perlakuan probiotik pada kedua MA (P<0.05) dan TCBS (P<0.001) media (Gambar 4) bahkan jika variasi tersebut tidak seragam selama beberapa minggu, (ii) tindak lanjut lebih dari sehari menunjukkan bahwa penurunan yang sama terjadi setelah makan pada perlakuan yang dilengkapi dengan probiotik dan efek ini berlangsung lebih lama setelah pemberian pakan kedua (Gbr. 5).
Hitungan
pada MAG tidak memungkinkan jumlah yang relevan dari koloni V. nigripulchritudo dalam usus yang akan terdeteksi setiap saat di pengenceran (data tidak
ditampilkan). Koloni yang terdeteksi sangat sedikit pada satu piring
dari pengenceran pertama (10-1) pada minggu pertama dan
minggu keempat, tanpa memperhatikan perbedaan antara perlakuan.
3.4. Perhitungan
V.
Nigripulchritudo dalam
haemolymph
Haemocultures pada MAG
untuk prevalensi V. nigripulchritudo
dan beban, pada udang yang dibesarkan di tambak, yang ditunjukkan pada Gambar.
6. Tingkat prevalensi awal penelitian
tinggi dan menurun sepanjang penelitian untuk mencapai nilai nul pada minggu ke
10 (Gambar 6A). Penurunan ini sangat berhubungan dengan suhu air (Tabel 7). V.nigripulchritudo meningkat secara drastis
pada minggu 2 dan kemudian menurun menjadi kurang dari 20 CFU per udang yang
terinfeksi selama minggu berikutnya (Gambar 6C). Tren yang sama pada prevalensi
dan beban diamati untuk udang yang dipelihara dalam keramba C (Gambar 6B dan
D). Dibandingkan dengan keramba C, keramba P memiliki Prevalensi lebih
rendah pada minggu ke
2, 3, 4, 8 dan
10 dan beban yang
lebih rendah pada minggu ke 2
dan 5 (Gambar 6B
dan D). Untuk
udang yang diberi perlakuan probiotik, prevalensi
maximum dari minggu ke 2 penelitian sampai akhir, tidak melebihi 53%. Selain
itu, pola prevalensi udang yang diberi perlakuan
probiotik tidak
berkorelasi dengan penurunan suhu seperti yang diamati untuk perlakuan kontrol
(Gambar 6B dan
Tabel 7). Pada akhirnya jumlah V. nigripulchritudo dalam keramba P tidak meningkat pada minggu
2 dari penelitian, sebagaimana yang diamati untuk udang yang
dipelihara dalam keramba C.
4.
Pembahasan
4.1.
Pemeliharaan di keramba jaring apung
Penelitian sebelumnya (Chim et al., 2007) menunjukkan
bahwa KJA adalah
alat yang baik untuk budidaya udang di tambak
(mengapa?), sehingga sepenuhnya udang yang dipelihara mencapai
ukuran komersial, hasil zootechnical dengan range standar
untuk pembudidaya di Kaledonia Baru (GFA, 2006).
untuk pembudidaya di Kaledonia Baru (GFA, 2006).
Dalam penelitian ini, keuntungan utama adalah
memungkinkan udang
yang akan dibesarkan di lingkungan yang sama, sehingga perbedaan antara perlakuan dapat disebabkan oleh pengaruh probiotik . Keuntungan lain adalah peningkatan power statistik melalui peningkatan jumlah ulangan dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan secara langsung di tambak tersebut (Chim et al., 2007).
yang akan dibesarkan di lingkungan yang sama, sehingga perbedaan antara perlakuan dapat disebabkan oleh pengaruh probiotik . Keuntungan lain adalah peningkatan power statistik melalui peningkatan jumlah ulangan dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan secara langsung di tambak tersebut (Chim et al., 2007).
4.2. Pengaruh probiotik terhadap kelangsungan Hidup, FCR
dan nutrisi
Tingkat kelangsungan hidup yang rendah
diperoleh pada tambak A dan B
ada pada kesepakatan sebelumnya dari
hasil budidaya, dan dapat berkorelasi untuk Sindrom musim panas (pengaruh musim
terhadap SR udang) (Goarant
et al., 2006).
septikemia vibriosis pertama kali diidentifikasi pada tahun 1997
di tambak udang ini
dan tingkat kelangsungan hidup akhir yang diperoleh
bervariasi 22% dan 38%, tergantung pada tahun (Lemonnier
et al., 2006).
Hasil pemeliharaan pada KJA tanpa menggunakan
probiotik memberikan hasil yang sama, dengan tingkat kelangsungan hidup 31,1 ±
1,5 dan 37,8 ± 19 untuk setiap tambak A
dan B. Meningkatnya
kurva mortalitas , selama 2 minggu pertama setelah udang ditebar ke keramba,
sejajar dengan kurva beban V. nigripulchritudo di haemolymf dari udang selama periode yang sama
(tingkat mortalitas pada udang putih akibat vibriosis). Prevalensi tampaknya
juga sangat terkait dengan kurva kematian, dengan sedikit bergeser
sebelumnya dilaporkan oleh Goarant
et al. (2006).
penulis
menyarankan adanya fase latency untuk penyakit ini (pengertian fase latency).
Peneliti juga menemukan korelasi (r =
0,86, P<0.001) antara prevalensi V. nigripulchritudo
dan penurunan suhu untuk udang kontrol
di keramba dan pemeliharaan
secara langsung di tambak.
Hasil
ini menunjukkan bahwa pentingnya
suhu air untuk penyakit ini (mekanisme berperannya suhu terhadap
vibriosis).
Menurut pengamatan bahwa pengobatan
dengan probiotik P. acidilactici secara signifikan meningkatkan kelangsungan
hidup udang
di tambak A (+7%) dan tambak B
(+15%). Menariknya, data
ini juga mengatakan penurunan
prevalensi V. nigripulchritudo dan tingkat beban pada udang dengan pemberian probiotik dalam 2 minggu pertama penelitian (mekanisme P. acidilactici dalam mengurangi prevalensi), di
mana variabel-variabel mencapai nilai maksimum untuk perlakuan kontrol. Hasil
penelitian ini menjelaskan pengaruh langsung
atau tidak langsung dari jenis probiotik terkait pada mikrobiota udang dengan mekanisme
tertentu atau tidak spesifik, yang pada gilirannya dapat membatasi pengaruh dari beberapa jenis
patogen.
Pemberian probiotik juga meningkatkan
biomassa akhir (P = 0,09) dan secara
signifikan mengurangi FCR (mekanisme probiotik dalam mengurangi FCR).
Pada penelitian in situ aplikasi LAB pada
spesies akuatik, dan lebih khusus pada spesies udang, pendapat menjelaskan pengaruh relatif yang
tidak sesuai. Venkat et al. (2004) menunjukkan
bahwa jenis L. acidophilus dan L. sporogenes meningkat secara signifikan pada pertumbuhan PL Macrobrachium rosenbergii. Namun,
kelangsungan hidup tidak terpengaruh
dalam kasus ini. Para penulis yang sama mengamati kembali pengaruh LAB terhadap gram negatif terhadap flora yang
ada dalam air tawar dari usus udang (LAB pada usus udang).
Pengaruh positif dari probiotik
terdapat FCR juga
sudah ditunjukkan pada larva Penaeus indicus yang diberi makan L. plantarum (Uma et al., 1999).
Hepatopankreas dianggap sebagai organ tempat penyimpanan utama pada udang,
terutama mengumpulkan lipid (Luvizotto-Santos et al, 2003.). Dalam program penelitian
ini menunjukkan pada hewan sub-dewasa (berat
>10 g), yang
memiliki diet dan kebiasaan makan yang berbeda dibandingkan juvenil (Nunes dan Parsons,
2000). Nilai hepatosomatic indeks
(HSI) secara signifikan lebih tinggi pada udang yang diberi perlakuan probiotik (pengertian HSI). Kecenderungan
yang sama diamati untuk hepatopankreas berat
kering, yang
kemudian secara signifikan (P<0.05) lebih tinggi pada udang yang menerima probiotik 2 minggu masa pemeliharaan. Mensesuaikan berat
kering sangat sederhana dan
indikator spesifik pada hati cadangan
(data
tidak dipublikasikan). Berat hepatopankreas kering bervariasi disesuaikan dengan variasi kandungan kadar lemak (Sánchez-Paz et al., 2007). Beberapa hipotesis dapat menjelaskan probiotik pada hati cadangan. Status penyimpanan pada saat tertentu
adalah keseimbangan yang dihasilkan dari
pengendapan makanan bergizi dalam hepatopankreas dan pemanfaatannya
untuk kebutuhan energetik dan biosintesis hewan. Dalam hal ini, probiotik
bisa memiliki
penyesuaian baik proses penyimpanan makanan bergizi, atau penggunaannya, atau keduanya secara bersamaan. Hasil tambahan pada aktivitas trypsin dan α amilase dalam kelenjar pencernaan menunjukkan bahwa aktivitas enzim secara signifikan meningkat setelah pemberian pakan pertama (8:00 am). Namun, fenomena ini tidak jelas setelah pemberian pakan kedua (3:00 pm) (aktivitas trypsin dan α amylase). Penelitian dilakukan terhadap Penaeus kerathurus dan Palaemon squilla menunjukkan bahwa baik aktivitas amilase dan aktivitas tripsin dipengaruhi oleh pemberian pakan dan oleh ritme sirkadian (Van Wormhoudt et al, 1972;. Trellu dan Ceccaldi, 1977). Untuk contoh, Van Wormhoudt et al. (1972) menunjukkan kenaikan berturut-turut secara signifikan pada kedua aktivitas trypsin dan amilase pukul 10:00 pagi dan 10:00 malam secara independen. Jadi munculnya aktivitas enzim setelah pemberian pakan pertama dalam penelitian ini dapat terjadi akibat kombinasi faktor, seperti ritme sirkadian (pengertian ritme sirkadian), tidak makan pada malam hari (15 jam), dan sebelum pemberian pakan. adanya kenaikan yang sama dalam aktivitas enzim setelah pemberian pakan kedua dapat dijelaskan baik oleh pengaruh interaksi
dari asupan makanan atau oleh siklus nictemeral dan oleh periode intermeal harian (7 jam). Administrasi probiotik pada aktivitas enzim melalui kelenjar pencernaan pada kedua tingkat: (i) total tinggi dasar dan aktivitas spesifik α amylase
dan trypsin (hewan tidak makan selama 16 jam), (ii) puncak postprandial lebih pendek pada aktivitas enzim setelah pemberian pakan pagi sementara aktivitas total tripsin meningkat (pengertian puncak postprandial). Hasil tersebut sulit untuk dibandingkan dengan literatur, yang memberikan sedikit informasi tentang kinetika aktivitas enzim pencernaan mengikuti pola makan dalam kondisi pemeliharaan ditambak. Pada topik ini, kita dapat mengutip karya Muhlia-Almazan dan García-Carreño (2002), yang mengikuti aktivitas enzim dalam pencernaan Penaeus vannamei atas dasar tahap molting dan durasi kelaparan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menentukan apakah modulasi aktivitas enzim diamati dalam perlakuan probiotik karena pengaruh langsung dari jenis atau tidak benpengaruh secara langsung. Karena bakteri gram positif mengeluarkan berbagai enzim exo (pengertian enzim exo), sulit untuk membedakan aktivitas karena enzim disintesis oleh udang dari kegiatan kemudian enzim disintesis oleh bakteri. Namun, total aktivitas tripsin dan amilase lebih tinggi dari udang yang diberi perlakuan diukur sebelum diberi pakan sedangkan konsentrasi P. Acidilactici adalah putativeli mendekati 0. Hal ini menunjukkan bahwa enzim eksogen diproduksi oleh akun probiont hanya sebagian kecil dari total aktivitas enzim. Ada kemungkinan bahwa beberapa probiotik merangsang enzim endogen yang diproduksi oleh udang. Konsumsi makanan dianggap oleh Head dan Conover (1983) menjadi faktor utama yang mempengaruhi sekresi enzim pada
copepods. Oleh karena itu hasil tersebut juga dapat menjadi konsekuensi dari
stimulasi asupan pakan oleh perlakuan probiotik. hipotesis ini masih harus diselidiki lebih lanjut. Peneliti berasumsi bahwa pemberian probiotik mungkin telah menyebabkan peningkatan pencernaan dan meningkatkan penyerapan makanan, yang pada gilirannya memberikan kontribusi untuk meningkatkan penyerapan hati pada kelenjar pencernaan dan konversi pakan (FCR) yang diamati pada L. Stylirostris.
penyesuaian baik proses penyimpanan makanan bergizi, atau penggunaannya, atau keduanya secara bersamaan. Hasil tambahan pada aktivitas trypsin dan α amilase dalam kelenjar pencernaan menunjukkan bahwa aktivitas enzim secara signifikan meningkat setelah pemberian pakan pertama (8:00 am). Namun, fenomena ini tidak jelas setelah pemberian pakan kedua (3:00 pm) (aktivitas trypsin dan α amylase). Penelitian dilakukan terhadap Penaeus kerathurus dan Palaemon squilla menunjukkan bahwa baik aktivitas amilase dan aktivitas tripsin dipengaruhi oleh pemberian pakan dan oleh ritme sirkadian (Van Wormhoudt et al, 1972;. Trellu dan Ceccaldi, 1977). Untuk contoh, Van Wormhoudt et al. (1972) menunjukkan kenaikan berturut-turut secara signifikan pada kedua aktivitas trypsin dan amilase pukul 10:00 pagi dan 10:00 malam secara independen. Jadi munculnya aktivitas enzim setelah pemberian pakan pertama dalam penelitian ini dapat terjadi akibat kombinasi faktor, seperti ritme sirkadian (pengertian ritme sirkadian), tidak makan pada malam hari (15 jam), dan sebelum pemberian pakan. adanya kenaikan yang sama dalam aktivitas enzim setelah pemberian pakan kedua dapat dijelaskan baik oleh pengaruh interaksi
dari asupan makanan atau oleh siklus nictemeral dan oleh periode intermeal harian (7 jam). Administrasi probiotik pada aktivitas enzim melalui kelenjar pencernaan pada kedua tingkat: (i) total tinggi dasar dan aktivitas spesifik α amylase
dan trypsin (hewan tidak makan selama 16 jam), (ii) puncak postprandial lebih pendek pada aktivitas enzim setelah pemberian pakan pagi sementara aktivitas total tripsin meningkat (pengertian puncak postprandial). Hasil tersebut sulit untuk dibandingkan dengan literatur, yang memberikan sedikit informasi tentang kinetika aktivitas enzim pencernaan mengikuti pola makan dalam kondisi pemeliharaan ditambak. Pada topik ini, kita dapat mengutip karya Muhlia-Almazan dan García-Carreño (2002), yang mengikuti aktivitas enzim dalam pencernaan Penaeus vannamei atas dasar tahap molting dan durasi kelaparan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menentukan apakah modulasi aktivitas enzim diamati dalam perlakuan probiotik karena pengaruh langsung dari jenis atau tidak benpengaruh secara langsung. Karena bakteri gram positif mengeluarkan berbagai enzim exo (pengertian enzim exo), sulit untuk membedakan aktivitas karena enzim disintesis oleh udang dari kegiatan kemudian enzim disintesis oleh bakteri. Namun, total aktivitas tripsin dan amilase lebih tinggi dari udang yang diberi perlakuan diukur sebelum diberi pakan sedangkan konsentrasi P. Acidilactici adalah putativeli mendekati 0. Hal ini menunjukkan bahwa enzim eksogen diproduksi oleh akun probiont hanya sebagian kecil dari total aktivitas enzim. Ada kemungkinan bahwa beberapa probiotik merangsang enzim endogen yang diproduksi oleh udang. Konsumsi makanan dianggap oleh Head dan Conover (1983) menjadi faktor utama yang mempengaruhi sekresi enzim pada
copepods. Oleh karena itu hasil tersebut juga dapat menjadi konsekuensi dari
stimulasi asupan pakan oleh perlakuan probiotik. hipotesis ini masih harus diselidiki lebih lanjut. Peneliti berasumsi bahwa pemberian probiotik mungkin telah menyebabkan peningkatan pencernaan dan meningkatkan penyerapan makanan, yang pada gilirannya memberikan kontribusi untuk meningkatkan penyerapan hati pada kelenjar pencernaan dan konversi pakan (FCR) yang diamati pada L. Stylirostris.
4.3. Probiotik dalam saluran pencernaan
Hal ini umumnya diterima bahwa bakteri laktat secara alami muncul dalam saluran pencernaan ikan (Ringo
dan Gatesoupe, 1998). Namun, kebanyakan penelitian tentang mikroflora usus
udang dan umum krustasea, tidak menjelaskan adanya bakteri laktat dalam saluran
pencernaanya (Dempsey et al, 1989;. Harris, 1993; Oxley dan Shipton, 2002;
Venkat et al, 2004.). Cai et al. (1999) menyatakan bahwa ada tiga spesies bakteri
dalam usus udang air tawar M.rosenbergii
yaitu Lactococcus garvieae, P. acidilactici, dan Enterococcus faecium. Dalam penelitian ini,
jumlah bakteri pada MRS (media spesifik untuk
LAB) dalam usus udang
kontrol tidak menunjukkan adanya bakteri
asam laktat selama penelitian. Hanya jenis probiotik (koloni
berwarna putih-abu dan putih kekuningan, berbentuk
bulat dengan permukaan halus, diameter antara 1 dan 2,5 mm) telah dicatat
sebagai bakteri asam laktat dalam usus udang yang pakannya mengandung probiotik.
Hal ini menunjukkan bahwa strain bertahan pada saluran pencernaan udang, yang merupakan fitur terpenting, karena aktivitas
probiotik sering dihubungkan untuk menduga kemampuan pada strain dalam saluran
pencernaannya (Panigrahi et al., 2005). Hasil penelitian sebelumnya dalam tangki air
jernih menunjukkan bahwa P.acidilactici diaplikasikan pada
konsentrasi mendekati 107 CFU
g-1 dari pakan diambil sekitar
5 × 104
CFU g-1
dari usus segar
(data tidak dipublikasikan). Pada saat mempelajari konsentrasi
rata-rata 1,3 ×
104 CFU g-1 tercatat 2 jam setelah pemberian pakan. Semakin rendah konsentrasi yang diambil
dalam penelitian ini dapat dijelaskan oleh tersedianya pakan alami dalam keramba yang memberikan kontribusi terhadap seluruh
udang dan melarutkan
probiotik yang terdapat dalam pakan pellet. Pada dasarnya, kosentrasi probiotik dalam usus dicatat dalam penelitian ini berada dalam kisaran yang sama seperti yang
terdapat pada probiotik lain yang digunakan untuk
aplikasi udang. Rengpipat
et al. (2000)
menunjukkan bahwa pada Penaeus monodon, konsentrasi
probiotik Bacillus
S11 mencapai tingkat 106
CFU g-1
dari usus bila
diberikan dalam pakan dengan dosis berkisar antara 1,39 1010
dan 4,69 1010 CFU g-1.
Baru-baru ini, Ziaei-Nejad et al. (2006) menyatakan bahwa Bacillus komersial mencapai konsentrasi berkisar antara 104 dan 105 CFU g-1 dari saluran pencernaan ketika
diterapkan dalam air dengan 107 CFU ml-1.
Mengenai bakteri asam laktat, beberapa contoh penggunaan sebagai probiotik yang terdapat pada
udang dan jumlah
jenis probiotik dalam saluran
pencernaan hewan belum tercatat
secara sistematis (Venkat et al., 2004). Dalam penelitian ini , konsentrasi P. acidilactici
2 jam setelah
pemberian pakan seluruhnya mencapai tingkat penelitian. Konsentrasi probiotik tetap diatas 5 × 103 CFU
g-1 4 jam setelah pemberian pakan, dan kemudian menurun secara bertahap
mencapai nilai sekitar
2 × 103
CFU g-1
setelah 6 jam. Menunjukkan kecenderungan bahwa jenis probiotik
harus bersifat sementara dan tidak mempengaruhi
mukosa usus L. Stylirostris (mengapa?).
Hasil ini
menegaskan bahwa penelitian yang
dilakukan pada ikan ditinjau oleh
Ringo dan Gatesoupe (1998) yang menyatakan bahwa
bakteri asam laktat dihasilkan melalui
makanan umumnya tidak menganggu lendir usus dan hilang selama transit dalam
beberapa hari setelah pakan dikosumsi. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Aubin et al. (2005) yang menunjukkan bahwa jenis P. acidilactici yang sama hanya diambil pada konsentrasi rendah <102 CFU
g-1 dalam usus rainbow
trout tidak makan selama 20 jam. Para peneliti kemudian menyatakan bahwa probiotik adalah transient tanpa asosiasi
mukosa .Usus pendek
dan waktu transit pada udang (Dall, 1967) bisa menguraikan/menghilangkan probiotik
lebih cepat dibandingkan dengan ikan. Selain itu, waktu transit pada usus udang
dan khususnya dari L. stylirostris
dipengaruhi oleh suhu air, karena waktu antara dua kali pemberian pakan
(periode refrakter) berbanding terbalik dengan suhu (Chim et al., 2004). Ini menunjukan
bahwa koloni P. acidilactici tercatat
hingga 16 jam setelah pemberian pakan
yang terakhir, ketika suhu air tambak rendah (21 ° C) pada L. stylirostris preferendum termal
(Wabete, 2005). Hasil ini menyatakan adanya hubungan
antara kehadiran probiotik dalam saluran pencernaan dan kecepatan transit usus,
berhubungan dengan suhu (mekanisme berperannya suhu terhadap kehadiran
probiotik dalam saluran pencernaan dan kecepatan usus). Dalam
prakteknya, menyarankan perlu menyediakan probiotik lebih sering untuk mengkompensasi
eliminasi. Dua
distribusi pakan yang dibuat selama penelitian ini tidak memungkinkan probiotik
pada konsentrasi 104 CFU g-1 dari usus yang akan diambil lebih dari 40% dari waktu. Dengan kondisi tersebut, aksi probiotik mungkin bisa efektif hanya pada waktu konsentrasi optimal dalam saluran pencernaan. Penyelidikan lebih lanjut
di daerah ini akan diperlukan untuk menentukan program pengelolaan probiotik.
distribusi pakan yang dibuat selama penelitian ini tidak memungkinkan probiotik
pada konsentrasi 104 CFU g-1 dari usus yang akan diambil lebih dari 40% dari waktu. Dengan kondisi tersebut, aksi probiotik mungkin bisa efektif hanya pada waktu konsentrasi optimal dalam saluran pencernaan. Penyelidikan lebih lanjut
di daerah ini akan diperlukan untuk menentukan program pengelolaan probiotik.
4.4. Pengaruh probiotik yang berasosiasi pada mikroflora di
saluran pencernaan L. Stylirostris
Hasil
menunjukkan bahwa probiotik mempunyai pengaruh pada
mikroflora pada saluran pencernaan udang. pengaruhnya adalah salah satu konsentrasi bakteri yang lebih rendah, termasuk vibrio, dalam usus hewan, dan paling menonjol ketika tingkat P. acidilactici tercatat tertinggi dalam usus (2 sampai 4 jam setelah makan). Keterbatasan ini signifikan beban bakteri setelah pemberian pakan probiotik, dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan bahwa probiotik diuji memiliki sifat bakteriostatik vivo (pengertian sifat bakteriostatik). Hasil ini konsisten dengan data sebelumnya (tidak dipublikasikan) yang menunjukkan berlaku vitro antagonis P. acidilactici galur MA 18/5 M terhadap beberapa bakteri Gram-positif dan Gram-negatif dan terutama terhadap beberapa strain patogen vibrio untuk L. stylirostris.
mikroflora pada saluran pencernaan udang. pengaruhnya adalah salah satu konsentrasi bakteri yang lebih rendah, termasuk vibrio, dalam usus hewan, dan paling menonjol ketika tingkat P. acidilactici tercatat tertinggi dalam usus (2 sampai 4 jam setelah makan). Keterbatasan ini signifikan beban bakteri setelah pemberian pakan probiotik, dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan bahwa probiotik diuji memiliki sifat bakteriostatik vivo (pengertian sifat bakteriostatik). Hasil ini konsisten dengan data sebelumnya (tidak dipublikasikan) yang menunjukkan berlaku vitro antagonis P. acidilactici galur MA 18/5 M terhadap beberapa bakteri Gram-positif dan Gram-negatif dan terutama terhadap beberapa strain patogen vibrio untuk L. stylirostris.
Hasil tindak lanjut lebih 1 hari dari
pemeliharaan menjelaskan batasan significan pada beban bakteri setelah
memberikan probiotik dan menunjukkan variasi dari efek selama periode waktu.
Modulasi dari efek probiotik selama siang hari memberikan hubungan yang berbeda
pada tingkat P. acidilactici yang terdapat dalam usus pada
periode yang sama. Kinetika tersebut perlu dikonfirmasi dan penelitian
diperpanjang sampai 24 jam serta diulang dengan penelitian tambahan, terutama
pada pengaruh putativ dari probiotik frekuensi pemberian pakan.
Pengaruh
antimikroba bakteri umumnya berasal dari subtansi yang direaleas sendiri atau
asosiasi, antibiotik, bakteriosin, siderofor, lisosim, protease, hidrogen
peroksida atau asam organik untuk menurunkan pH medium, amonia dan diacethyl.
Hal ini menyatakan bahwa pengaruh primer yang diberikan oleh laboratorium
pengurangan pH dan penghilangan karbohidrat (Daeshel,1989). menunjukkan bahwa pengaruh probiotik dari
laboratorium didasarkan pada produksi
antibakteri dari metabolit beragam (Gildberg et al., 1997). Bakteriosin
(pediocin) dihasilkan oleh beberapa jenis P.
acidilactici (pengertian bakteriosin) (Bhunia et
al., 1990, Cintas et al, 1995;. Mora et al, 2002). Oleh karena itu, hipotesis yang dapat diambil bahwa jenis Pediococcus menghasilkan zat-zat
tersebut yang memodifikasi mikroflora usus udang. Namun, hipotesis ini
adalah suatu temperamen, secara umum sepakat bahwa bakteriosin adalah peptida yang efektif terutama terhadap bakteri yang
berkaitan dengan jenis produksi (Gatesoupe, 1999; Guerra dan Pastrana,
2003). Jenis P. acidilactici diuji serta diseleksi untuk kapasitas produksi
dalam jumlah besar asam laktat. Asam laktat dan asetad dihasilkan dari
fermentasi laktat dari LAB mampu mengasamkan bakteri interior yang mengarah ke
penghilangan H + ion dari sel dan menyebabkan uncoupling dari pompa
Na+-K+ (ATPase) (Goncalves et al, 1997). Ringø and Gatesoupe
(1998) menyatakan bahwa bakteri mampu
mengahsilkan fermentasi asam laktat dapat menghambat proliferasi mikroba yang
menyebabkan pembusukan pada saluran pencernaan oragnisme akuatik, dengan
demikian memberikan kontribusi untuk perbaikan kesehatan dari host. Selanjutnya,
pelepasan asam laktat mengakibatkan modofikasi pH usus menjadi faktor lain yang
memberikan efek pada mikrobanya. Vazquez et al (2005) menunjukkan,
misalnya, asam laktat dan asetat bertanggung jawab atas efek dari sembilan
bakteri asam laktat dari probiotik yang diuji untuk menghambat pengaruh
terhadap empat patogen umum dari turbot.
Pada tahap pengetahuan ini, baik
produksi bakteriosin atau pengasaman dengan asam laktat sesuai dengan hipotesis
dan bisa menjelaskan aksi probiotik pada usus mikroflora. Namun, seperti yang
ditegaskan oleh Aubin et al (2005) efek probiotik jenis ini bisa menjadi baik
secara langsung, karena sifat bakteriostatik, atau tidak langsung, dengan
merangsang usus mikrobiota. Selain itu aksi spesifik mekanisme pada aktivitas
probiotik, baik pada hewan darat dan untuk aplikasi pada manusia, dari sifat
yang sangat beragam dan efek tidak mungkin muncul dari mekanisme independen. Kombinasi
A dari beberapa aksi mekanisme yang mungkin terlibat, yang membuat in vivo demonstrasi (Gatesoupe, 1999). Pada
contoh ini, peneliti tidak bisa mengatakan pada tahap ini apakah tindakan yang
diamati secara khusus diarahkan pada setiap komunitas bakteri dan berkorelasi dengan efek yang
diamati pada V. Nigripulchritudo di
haemolymp tersebut. Penggunaan metode penargetan jenis bakteri tertentu (misalnya
jenis patogen) atau memberikan gambaran perwakilan dari bakteri komunitas dalam
usus dan haemolymp (TTGE atau DGGE) mungkin dapat membantu kemajuan lebih
lanjut dalam penelitian ini (spesifitas dari
TTGE atau DGGE).
5.
Kesimpulan
Dalam
kondisi eksperimental probiotik P.
acidilactici bertindak positif pada kelangsungan hidup dan FCR dari udang L. Stylirostris. Meskipun peneliti tidak dapat menjelaskan mekanisme
yang terlibat, perlakuan probiotik
membawa signifikan antagonistik terhadap aktivitas mikroflora dari saluran
pencernaan dan menyebabkan pengurangan prevalensi dan beban V. Nigripulchritudo, yang telah terlibat
dalam wabah yang serius di Kaledonia Baru. Dalam hal gizi, sub-dewasa L.stylirostris
(>10 g) menunjukan penyimpanan pada hati lebih tinggi ketika pakan
diberi probiotik, aktivitas enzim pencernaan meningkat pada perlakuan. Peneliti
berasumsi bahwa hasil ini berkaitan dengan pemanfaatan pakan yang lebih baik
pada hewan diberi diet probiotik.
Pada kondisi pakan, kosentrasi probiotik dalam usus
ditemukan sangat bervariasi, menunjukkan peningkatan dan optimalisasi pada
perlakuan dengan menyesuaikan probiotik frekuensi pemberian pakan. Bahwasanya,
peneliti menganggap itu mungkin untuk memperkuat efek probiotik dengan
meningkatkan waktu pada jenis probiotik dalam saluran pencernaan.
Penelitian
kedepan pada topik ini perlu mengoptimalkan dosis probiotik dan frekuensi untuk
aplikasi selama musim pertumbuhan udang. Peneliti juga akan melihat efek
kualitatif dari jenis probiotik pada komunitas bakteri yang berhubungan dengan
usus udang dan menyelidiki dampak fisiologis dan potensi dari perlakuan
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar