BAB
I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penyakit pada ikan
merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai dalam usaha budidaya ikan. Di
Indonesia telah diketahui ada beberapa jenis ikan air tawar, dan diantaranya
sering menimbulkan wabah penyakit serta menyebabkankegagalan dalam usaha
budidaya ikan (Irawan, 2004). Secara umum
penyakit dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu penyakit infeksi dan non infeksi.
Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit, jamur,
bakteri, dan virus dan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non hidup
seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan (Afrianto
dan Liviawaty, 2003). Serangan penyakit dan gangguan hama dapat
menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lambat (kekerdilan), padat tebar sangat
rendah, konversi pakan menjadi tinggi, periode pemeliharaan lebih lama yang
berarti meningkatnya biaya produksi. Serangan penyakit dan gangguan hama tidak
hanya menyebabkan menurunnya hasil panen (produksi), tetapi pada tahap yang
lebih lanjut dapat menyebabkan kegagalan panen (Kordi,
2004).
Pemahaman tentang
parasit dan penyakit ikan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan produksi
dan mencegah kerugian
ekonomi pada usaha
budidaya perikanan sehingga ikan dapat dipanen pada waktunya tanpa
adanya gangguan dari parasit maupun penyakit ikan (Riauwaty,
2004). Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam
organisme lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk
berkembang biak (Subekti dan Mahasri, 2010).
Berdasarkan habitatnya, parasit dalam tubuh ikan dibagi menjadi dua yaitu
ektoparasit (parasit yang menyerang bagian luar tubuh ikan, misalnya pada
insang, sirip dan kulit), dan endoparasit (parasit yang menyerang bagian dalam
tubuh ikan, misalnya usus, ginjal dan hati) (Balai
Karantina Ikan Batam, 2007).
Endoparasit adalah
parasit yang terdapat di dalam tubuh dan menyerang organ dalam ikan atau udang.
Banyak Nematoda yang hidup sebagai
endoparasit di dalam tubuh ikan (Ghufran, 2004). Keberadaan
endoparasit dapat menyebabkan kematian pada populasi inang dan konsekuensinya
dapat menyebabkan kerugian besar bagi industri perikanan. Infeksi endoparasit
dapat menyebabkan dampak yang dapat merugikan secara ekonomi, yaitu ikan
kehilangan berat badan, penolakan oleh konsumen karena perubahan patologi pada
inang, penurunan fekunditas ikan dan penurunan jumlah dalam penetasan ikan dan
larva (Anshary, 2008).Perkembangan
endoparasit dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan,
diantaranya suhu dan kandungan bahan kimia suatu perairan (Hassan, 2008). Selain itu, adanya organisme
invertebrata yang hidup di sekitar karamba jaring apung juga menjadi faktor
penyebaran endoparasit pada ikan, karena organisme tersebut dapat berperan
sebagai inang perantara dari beberapa spesies endoparasit (Ruckert et al., 2009).
1.2
Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini adalah memberi penjelasan tentang penyakit ikan secara endoparasit,
nematoda pada ikan, morfologi umum nematoda, siklus hidup nematoda, spesies
nematoda yang menyerang ikan, dan penanganan ikan yang terserang nematoda.
BAB
II PEMBAHASAN
2.1.
Nematoda
Nematoda sering disebut
cacing ”gilig” merupakan kelas tersendiri dari filum Aschelmintes . Nematoda merupakan parasit yang sering dijumpai pada
ikan (Hirschhorn 1989) dimana ikan dapat
bertindak sebagai induk semang antara maupun induk semang definitif. Noga (1996) menyatakan bahwa ikan laut biasanya
terinfeksi oleh nematoda yang berasal dari golongan Ascaridoidoiea (Contracecum,
Pseudoterranova, Anisakis, Cotracaecum), Camallanoidea (Camallanus,
Culcullanus), Dracunculoidea (Philonema, Philometra), dan Spiruroidea (Metabronema, Ascarophis). Sebagian besar camallanoids, dracunculoids, danspiruroids memiliki dua induk
semang dalam siklus hidupnya. Spirocamallanus
dapat bersifat patogen bagi ikan laut tropis (Rychlinski
& Deardorff,1982). Truttaedactitras,
Philonemadan, Philometra umum menyerang populasi ikan di alam dan
menimbulkan berbagai kerusakan pada organ tubuh ikan (Dick
et al., 1987). Parasit dari kelas nematoda juga dapat bersifat zoonosis
atau menginfeksi manusia yang mengkonsumsinya, misalnya Anisakis yang
menyebabkan anisakiasis (Pardede, 2000).
2.2.
Morfologi
Menurut Buchmann
& Bresciani (2001)cacing ini berbentuk panjang, ramping, silindris,
tidak bersegmen dengan kedua ujung meruncing (gambar 2), mempunyai mulut serta
anus (saluran pencernaan yang lengkap) serta memiliki rongga tubuh semu yang disebut
”pseudoselom”(Noble
1989). Tubuhnya tertutup oleh suatu kantung dermomuskular yang terdiri
dari tiga lapisan kutikula, hipodermis dan otot (Grabda
1991). Penutup luar tubuh (external
covering) nematoda berupa suatu lapisan non-selular yang disebut kutikula.
Lapisan ini sering disebut sebagai lapisan kitin namun memiliki struktur kimia
berbeda dari lapisan kitin eksoskleton arthropoda (Whitlock
1960).
Nematoda adalah cacing
yang hidup bebas di air dan tanah serta sejumlah besar spesies yang hidup
sebagai parasit pada hewan dan tumbuhan. Nematoda berbentuk bulat pada potongan
melintang (gambar 1) dan tidak bersegmen. Kutikula berfungsi untuk pengambilan
oksigen, sebagai selubung pelindung yang lentur dan kenyal serta resisten
terhadap enzim pencernaan inang terutama untuk cacing dewasa. Kutikula terdiri
dari sejumlah lapisan dan sedikitnya lima protein yang berbeda. Terdapat tiga
lapisan dibawah kutikula yaitu lapisan korteks di permukaan, lapisan matriks di
tengah dan lapisan basal (Cheng 1974).
Kutikula dapat membentuk struktur khusus seperti kait, melebar ke lateral
berbentuk pipih yang disebut alae dan pelebaran ke posterior disebut bursa
kopulatrik. Dibawah lapisan basal terdapat hipodermis yang berfungsi mengatur
permeabilitas dinding tubuh cacing dan bersama dengan kutikula sebagai alat
lokomosi. Lapisan setelah hipodermis terdapat lapisan otot berbentuk kumparan yang
terletak di sepanjang dinding tubuh cacing dan membantu dalam melakukan
gerakan. Terdapat otot khusus yang melekat pada esofagus dan alat kopulasi
seperti otot spikuler yang berguna mengeluarkan spikulum pada cacing jantan. (Levine1990).
Gambar
1. Potongan melintang dari Nematoda betina (Ascaris)
Menurut Grabda (1991), sistem pencernaan nematoda dimulai
dengan mulut yang dikelilingi oleh bibir (labia), biasanya terdapat tiga buah
bibir (satu terletak dorsal dan dua pada ventro-lateral), yang dapat ditemukan
pada spesies Anisakis spp. Pada spesies lain (Contracaecum spp.), terdapat struktur di antara bibir yang disebut
interlabia dan ada pula beberapa spesies yang sama sekali tidak memiliki bibir
(Philometra spp.). Pada Camallanus spp. mulut terbuka masuk ke
dalam kapsul bukal dengan kutikula yang tebal. Mulut berlanjut ke esofagus yang
memiliki dinding otot tebal. Pada beberapa spesies, esofagus dan usus
dipisahkan oleh kelenjar ventrikulus. Pola hubungan antara esofagus-ventrikulus
inilah yang menjadi kunci karakteristik taksonomi untuk mengidentifikasi
spesies dari famili Anisakidae. Usus merupakan sebuah tabung lurus yang
dibentuk oleh selapis sel-sel usus dan jumlahnya sudah tetap pada masing-masing
spesies. Usus berlanjut ke rektum dan akan berakhir pada anus. Pada cacing
jantan, vas defferens juga akan bermuara di rektum yang pada beberapa kasus
dapat bertindak sebagai kloaka (Grabda,1991).
Saluran pencernaan
nematoda berupa tabung lurus panjang, terdiri dari selsel yang tersusun dalam
lapisan tunggal. Terdapat sebuah mulut pada ujung anterior nematoda dengan
posisi subdorsal atau subventral yang dikelilingi oleh bibir. Bentuk bibir pada
tiap spesies nematoda beragam, dengan jumlah bibir primitif ada 6 yang
masing-masing terletak dua subdorsal, dua subventral dan dua lateral. Pada
beberapa nematoda terjadi fusi sehingga ada yang hanya memiliki 2 bibir, tanpa
bibir dan 3 buah bibir yang letaknya 1 buah di dorsal dan dua buah di
latero-ventral. Pada nematoda lain, bibir diganti oleh papila yang membentuk
korona radiata atau mahkota daun (Cheng, 1973).
Setelah lubang mulut pada ujung anterior, menuju ke rongga bukal atau stroma
yang tidak selalu ada pada tiap species nematoda kemudian ke esofagus yang
selanjutnya ke usus (Levine, 1990). Menurut Soulsby (1982), terdapat 2 tipe esofagus yaitu
esofagus rhabditiform yang mempunyai bagian anterior berbentuk batang yang
dihubungkan dengan leher sempit dengan pentolan posterior berbentuk buah pir
dan esofagus filariform yang berbentuk silindris tetapi tidak mempunyai
pentolan posterior. Pentolan posterior adalah suatu bagian yang terdapat di
bagian posterior esofagus yang terlihat membesar seperti gada. Usus nematoda
berbentuk suatu tabung sederhana dengan dinding nonmuskuler yang tersusun dari
lapisan tunggal sel kolumner yang terletak pada membran basal usus. Di
posterior dari usus cacing betina terdapat rektum dan pada cacing jantan
terdapat kloaka. Rektum atau kloaka dilapisi oleh kutikula dan terbuka keluar
melalui anus. Bagian tubuh di sebelah posterior anus atau kloaka disebut ekor
(Levine 1990).
Sistem syaraf terdiri
dari cincin syaraf yang mengelilingi esofagus dan cincin syaraf lain yang
mengelilingi bagian posterior usus. Sistem syaraf tersusun dari sejumlah
ganglia dan serabut syaraf membentuk cincin syaraf dengan syaraf utama terdapat
di garis dorsal dan ventral tubuh. Dari cincin syaraf terdapat enam batang
syaraf berjalan ke anterior, empat ke posterior dan syaraf-syaraf khusus yang
menuju ke organ-organ sensoris seperti papila, seta, fasmida dan amfida (Levine 1990). Alat indera yang terletak disekitar
mulut disebut amfid atau biasa disebut kemoreseptor anterior. Amfid berbentuk
seperti kantung, memiliki silia yang telah mengalami modifikasi dan ujung-ujung
syaraf berhubungan langsung dengan lingkungan eksternal. Alat indera yang lain
terletak di ujung posterior anus disebut fasmida atau kemoreseptor posterior.
Fasmida berbentuk kantung, mempunyai saluran kecil menuju ke luar dan biasa
memiliki satu silia (Noble & Noble, 1989).
Menurut Kusumamihardja (1989), nematoda tidak mempunyai
sistem peredaran darah. Rongga tubuhnya mengandung haemoglobin, glukosa,
protein, garam dan vitamin, yang kesemuanya memenuhi fungsi darah. Sistem
sarafnya terdiri atas cincin saraf sekeliling esofagus dan enam saraf posterior
yang keluar dari cincin tersebut. Alat indranya terletak pada bibir, daerah
serviks, sekitar anus dan sekitar alat kelamin. Sistem ekskresi terdiri atas
dua saluran lateral. Kedua saluran tersebut dihubungkan dengan sebuah saluran di
daerah esofagus dan saluran yang menghubungkannya dengan lubang pembuangan di
daerah ventral daerah esofagus. Lokasi lubang ekskresi pada nematoda sangat
penting dalam sistem taksonomi (Grabda, 1991)
Nematoda tidak memiliki
sistem pernafasan dan alat kelamin terpisah antara cacing jantan dan betina (Buchmann & Bresciani, 2001). Cheng (1973) menyatakan bahwa secara umum nematoda
jantan dapat dibedakan dari nematoda betina dari ukuran dan bentuk tubuhnya
dimana nematoda jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, ujung posterior yang
melingkar dan adanya bursa serta beberapa struktur reproduksi tambahan lainnya
yang tidak dimiliki oleh nematoda betina.
Sistem reproduksi
jantan terdiri atas testis tunggal, satu atau dua buah spikula sebagai alat
kopulasi dan kantung gubernakulum pada beberapa spesies (Cheng 1973). Testes akan berlanjut menjadi vas
defferens yang merupakan ujung yang kuat dan berotot serta berfungsi sebagai
duktus ejakulatoris. Vas defferens akan bermuara di rektum yang berperan
sebagai kloaka (Grabda, 1991). Rektum yang
dilapisi oleh kutikula akan berakhir pada anus. Menurut Cheng (1973), bentuk, ukuran dan jumlah dari spikula
kopulatoris dan struktur alat bantu kopulasi lainnya, merupakan unsur yang
sangat penting dalam menentukan taksonomi cacing nematoda.
Gambar 2. Struktur morfologi umum
Nematoda jantan
Sistem reproduksi
betina terdiri atas dua buah ovarium yang terletak di anterior dan posterior
tubuh. Beberapa spesies nematoda hanya memiliki sebuah ovarium yang dapat
terletak di bagian anterior atau posterior, oviduk yang berlanjut pada ujung
proksimal ovarium, dua buah uterus yang masing-masing berhubungan langsung
dengan kedua ovarium serta vagina (Cheng 1973).
2.3.
Siklus Hidup Nematoda
Nematoda memiliki
siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung pada spesies (Yanong, 2008) dan melibatkan inang antara
invertebrata. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari cacing
nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme yang
hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak
mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang antara (Yanong, 2008). Noga
(1996) menyatakan bahwa ikan merupakan induk semang antara sekaligus
induk semang definitif bagi perkembangan cacing nematoda. Secara umum, di dalam
tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadia dalam siklus hidupnya yang
dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann & Bresciani, 2001).
Yanong
(2008) membagi
siklus hidup nematoda menjadi dua kategori utama, yaitu siklus hidup langsung
dan tidak langsung. Siklus hidup langsung dimana ikan bertindak sebagai induk
semang definitif bagi nematoda dan tidak diperlukan induk semang antara
sehingga infeksi dapat langsung disebarkan secara langsung dari satu ikan ke
ikan lain melalui telur atau larva infektif yang termakan. Jika nematoda
memiliki siklus hidup tidak langsung, telur atau larva akan dikeluarkan ke
dalam air dan selama proses perkembangannya, larva yang belum dewasa ini
setidaknya akan melewati dua organisme yang berbeda yang salah satunya adalah
ikan.
Menurut Yanong (2008), siklus hidup tidak langsung
nematoda dapat dibagi lagi menjadi dua subkategori dimana ikan berperan sebagai
induk semang definitif atau sebagai induk semang antara. Siklus hidup tidak
langsung dimana ikan merupakan induk semang definitif, apabila cacing nematoda
memasuki organisme lain diluar ikan yang pada umumnya adalah invertebrata air
seperti golongan kopepoda atau larva insekta yang di dalamnya akan terjadi
tahap perkembangan sebelum cacing dimakan oleh ikan. Ketika dimakan oleh ikan
yang tepat, cacing akan mencapai kematangan kelamin dan akan bereproduksi di
dalam ikan. Siklus hidup tidak langsung dimana ikan merupakan induk semang
antara terjadi apabila nematoda hanya menggunakan ikan sebagai perantara
sebelum memasuki induk semang definitifnya yaitu organisme lain pemakan ikan
seperti ikan yang lebih besar, burung atau mamalia air lainnya.
Beberapa cacing
nematoda memiliki kemampuan bertahan hidup pada organisme alternatif atau yang
lebih dikenal sebagai induk semang paratenik (Yanong,
2008). Induk semang ini tidak dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup
cacing tetapi dapat mengandung stadium infektif nematoda dan menjadi sumber
infeksi bagi organisme lain. Induk semang paratenik dapat berupa ikan, cacing
atau organisme air lainnya yang memakan telur atau larva infektif nematoda. Yanong (2008) menyatakan bahwa nematoda dapat
menginfeksi berbagai spesies ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut dimana
dalam jumlah kecil sering ditemukan pada ikan yang sehat dan tidak menunjukkan
gejala penyakit yang khas namun ikan yang terinfeksi akan mengalami penurunan
produktifitas. Dalam lingkungan perairan, ikan dapat terinfeksi nematoda jika
memakan ”makanan” hidup yang mengandung larva infektif nematoda atau jika ikan
tersebut berperan sebagai inang antara atau yang membawa larva infektif
nematoda yang pada akhirnya nematoda dapat ditularkan secara langsung dari satu
ikan ke ikan yang lain (Yanong, 2008).
Nematoda dewasa
biasanya ditemukan dalam saluran pencernaan ikan, meskipun demikian, bergantung
pada spesies nematoda dan spesies ikan yang diinfeksinya stadium dewasa maupun
stadium lainnya dari cacing nematoda dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dari
tubuh ikan termasuk pada organ dalam, gelembung renang, kulit, otot, maupun
insang (Yanong, 2008).
Nematoda dapat hidup
pada tubuh induk semang secara langsung atau dengan inang antara. Siklus hidup
terdiri dari telur, empat stadium larva dan satu stadium dewasa yang berkembang
di inang definitif dan membutuhkan inang antara sebagai perantara. Siklus hidup
nematoda dengan inang antara stadium dewasa pada inang definitif mengeluarkan
larva atau telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi larva yang hidup
bebas di perairan. Larva yang berenang bebas di makan oleh inang antara
invertebrata seperti kopepoda dan krustacea atau langsung dimakan oleh inang
definitif. Inang antara invertebrata kemudian termakan oleh inang antara
sekunder dan larva mengkista di dalam inang antara tersebut. Stadium larva yang
infektif dapat ditemukan banyak dalam satu inang antara sedangkan inang
definitifnya dapat mengandung banyak cacing dewasa. Ikan dan cumi-cumi dapat
bertindak sebagai inang antara pertama atau inang antara sekunder (Noga, 1996). Nematoda dapat memanfaatkan ikan
sebagai inang definitif untuk mencapai dewasa dan sebagian lagi memanfaatkan
ikan sebagai inang antara. Menurut (Grabda, 1991)
famili Anisakidae memiliki inang definitif pada burung atau mamalia laut .
Prevalensi cacing
nematoda dewasa pada ikan gurami dan ikan kakap merah dari dua jenis ikan yang
diperiksa, jumlah ikan yang terserang parasit paling banyak ditemukan di ikan
gurami kemudian ikan kakap merah. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ini antara
lain pola makan ikan, daya tahan ikan dan kondisi lingkungan ikan. Parasit
banyak di temukan pada ikan gurami dapat disebabkan kebiasaan makan dan
lingkungan yang tidak mendukung. Ikan gurami adalah ikan budidaya yang bersifat
omnivora, dimana sebagian besar diberikan pakan alami secara langsung sehingga
peluang untuk terkena parasit lebih besar. Pakan alami apabila kualitas tidak
di perhatikan dapat menjadi pembawa parasit ke lingkungan budidaya dan dapat
menjadi inang antara parasit. Kondisi lingkungan budidaya ikan gurami seperti
suhu, cuaca dan kualitas air berpengaruh terhadap keseimbangan fisiologis dan
alat-alat tubuh ikan yang akan mempengaruhi daya tahan ikan terhadap parasit.
Hal ini berbeda pada ikan kakap merah yang hidup bebas di perairan laut,
bersifat karnivora dan kakap merah mencari sendiri makanannya. Rendahnya jumlah
ikan yang terserang cacing parasitik pada ikan kakap merah dapat disebabkan
karena kondisi pertahanan ikan yang baik. Menurut Noble
& Noble (1989) Jumlah, ukuran, perilaku setiap parasit terhadap
inang ditentukan oleh umur, ukuran tubuh inang, daya tahan inang, iklim, musim
dan lokasi geografik. Semakin tua umur ikan, semakin banyak waktu yang
digunakan untuk berpencar ke daerah yang lebih luas dan berakibat akumulasi
parasit dalam jumlah besar. Grabda (1991) menyatakan
bahwa lingkungan perairan mengatur dinamika populasi, perkembangan dan
penyebaran parasit. Variasi geografik dan suhu air akan menyebabkan perbedaan
parasit dari zona iklim yang berbeda. Faktor lain seperti salinitas membagi
parasit menjadi parasit perairan laut, parasit estuaria dan parasit perairan
tawar. Tingginya prevalensi cacing parasitik pada ikan gurami dapat juga
disebabkan karena padat penebaran yang tinggi sehingga akan memudahkan
penyebaran cacing parasit dari satu ikan ke ikan lainnya, menurunkan
pertumbuhan dan kerentanan inang terhadap parasit akan semakin tinggi. Menurut Grabda (1991) parasit dapat berpindah dari satu
inang ke inang lainnya dan menginfeksi seluruh populasi ikan. Cara penularan
berbeda-beda pada tiap ikan tergantung jenis parasitnya. Penularan dapat
terjadi dengan kontak langsung antara ikan yang sehat dengan ikan yang terinfeksi.
Penyebaran ini umumnya terjadi pada fase larva dan jarang terjadi pada parasit
dewasa. Infeksi juga dapat terjadi melalui inang antara yang termakan oleh
inang definitif.
2.4.
Beberapa Spesies dari Nematoda yang Menyerang Ikan
Jenis-jenis nematoda yang kerap
menyerang ikan adalah Trichuridea Sp,
Heteroceilidae sp, Camallanus sp, dan spinitectus sp. Gejala yang kerap muncul bila ikan terserang
penyakit ini adalah ikan menjadi kurang nafsu makan, terjadi implamasi,
hemoragik, pembengkakan di perut, produksi lendir secara berlebihan, atau
mengalami kerusakan fisik lainnya.
Pengendaliannya yang bisa
dilakukan adalah dengan merendamkan ikan dalam larutan PK 5 mg/l selama 30
menit, pemberian garam dapur 40 mg/l selama 24 jam, serta larutal methylen blue
4 gram/m3. Pada pencegahan, sebaiknya pada pakan alami dilakukan treatment
terlebih dahulu, seperti dengan merendam pakan alami dengan larutan PK 5 mg/l
selama 30 menit atau dengan disinfeksi telur menggunakan dylox 0,8 pp atau ziram 1 ppm.
Salah satu spesies nematoda yaitu
Genus Anisakis yaitu Cacing parasitik lainnya yang ditemukan teridentifikasi
dalam filum Nemathelminthes, kelas Nematoda, subkelas Secernentea, ordo
Ascaridida, subordo Ascaridina, famili Anisakidae, genus Anisakis (Grabda, 1991). Menurut Smith
& Wootten (1978), Anderson (1992),
Williams & Jones (1994), Anisakis baik dalam bentuk larva maupun
dewasa, merupakan parasit yang sangat umum dijumpai pada spesies ikan air laut.
Grabda (1991) menyebutkan
bahwa Anisakis merupakan golongan cacing nematoda yang berukuran besar dengan
tiga buah bibir yang mengelilingi mulutnya. Berdasarkan Koyama et al. (1969), Berland (1989), Ishikura & Namiki (1989),
Anderson (2000), Shih & Jeng (2002) dan Shih (2004), identifikasi
cacing nematoda famili Ansakidae dilakukan melalui perbandingan karakteristik
morfologis dari masing-masing tipe larva.
Cacing Anisakis memiliki tiga
buah bibir yang mengelilingi mulutnya: satu terletak di dorsal dan dua lainnya
di sisi ventro-lateral. Beberapa spesies memiliki bibir yang dipisahkan oleh
interlabia yang berukuran lebih kecil (Grabda
1991). Adanya bibir yang berkembang baik pada famili Anisakidae dewasa
merupakan karakteristik khas yang membedakannya dari famili lain dalam ordo
Ascaridida (Meyers, 1975).
Kutikula jelas terlihat
beralur transversal di sepanjang tubuhnya dan tembus cahaya (Nuchjangreed et al., 2006). Anisakis memiliki
esofagus yang lurus, berbentuk silindris atau sedikit mengalami pelebaran di
bagian posteriornya, terdiri atas dua bagian, yaitu bagian anterior yang berupa
otot dan bagian posterior yang berbentuk kelenjar, dikenal sebagai ventrikulus.
Bagian ventrikulus berhubungan dengan usus halus dan bagian terminal dari
sistem pencernaannya adalah rektum yang membuka keluar melalui anus dengan tiga
kelenjar anal besar yang berasosiasi dengan rektum.
Anisakis tidak memiliki
ujung lobus yang tumpul (sekum dan appendiks) pada pertemuan ventrikulus-sekum
maupun berbagai variasi konfigurasi esofageal-intestinal seperti pada beberapa
genus lainnya dalam famili Anisakidae. Bagian anterior berhubungan langsung
dengan appendiks dan bagian posterior dengan sekum (Meyers
1975). Nuchjangreed et al. (2006) menyatakan bahwa ekor Anisakis jantan
dewasa dapat teridentifikasi dengan jelas dengan adanya spikula dan bursa
kopulatoris. Lubang ekskresi terletak di sebelah ventral yang pada beberapa
spesies dapat berada di bagian puncak kepala pada basis ventro-lateral bibir
atau di dekat cincin saraf (Grabda, 1991).
Siklus hidup cacing
genus Anisakis sangat kompleks. Dixon (2006) menjelaskan
siklus hidup Anisakis sebagai berikut: telur dikeluarkan oleh cacing dewasa
melalui feses mamalia laut yang berperan sebagai induk semang definitif. Telur
tersebut tenggelam ke dasar laut dan kemudian menetas menjadi larva stadium
kedua. Larva stadium kedua hidup bebas di dalam air dan dapat bertahan selama
beberapa hari hingga minggu tergantung temperatur air. Larva ini kemudian
dimakan oleh krustasea laut yang berperan sebagai induk semang antara pertama
dan akan memfasilitasinya untuk melanjutkan perkembangan hidupnya menjadi larva
stadium ketiga yang infektif. Ketika krustasea dimakan oleh ikan, larva stadium
ketiga tersebut akan bermigrasi ke berbagai jaringan induk semang antara kedua
ini dan berkembang menjadi larva stadium ketiga yang lebih maju serta tinggal
menetap di organ dalam atau otot. Saat ikan yang terinfeksi Anisakis ini
dimakan oleh induk semang definitifnya, seperti mamalia laut, larva akan
dilepaskan ke dalam saluran cerna. Di dalam saluran cerna induk semang
definitifnya, larva akan mengalami pergantian kulit (moulting), berkembang
menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi dewasa. Manusia hanya
bertindak sebagai induk semang asidental yang tidak memiliki pengaruh terhadap
proses transmisi parasit ini.
Distribusi dan
lokalisasi infeksi cacing ini pada ikan terbesar ditemukan pada usus kemudian
hati dan lambung dan tidak tertutup kemungkinan terjadinya infeksi pada bagian
lain dari tubuh ikan seperti sirip, paru-paru, telur di uterus dan insang.
Berdasarkan hasil observasi yang sudah pernah dilaporkan, tidak pernah ditemukan
adanya migrasi postmortem dari cacing dewasa karena cacing ini tidak dapat
bermigrasi ke daging ataupun bagian tubuh dengan tingkat vaskularisasi yang
tinggi. Dalamnya distribusi cacing ini mengindikasikan kemampuannya bermigrasi
pada lokasi yang berbeda dari organ-organ tubuh ikan (Nuchjangreed
et al., 2006).
Identifikasi terhadap
Anisakis dilakukan berdasarkan ciri morfologi dan ukuran tubuhnya. Cacing yang
ditemukan tampak jelas memiliki bagian kepala pada ujung anterior tubuhnya dan
kutikula yang beralur transversal pada seluruh permukaan tubuhnya. Cacing
Anisakis beresiko terhadap kesehatan manusia melalui dua cara, yaitu melalui
infeksi oleh larva cacing yang berasal dari ikan yang dimasak kurang sempurna
dan kemudian bermigrasi ke dalam usus atau melalui reaksi alergi oleh bahan
kimia yang ditinggalkan cacing pada daging sehingga ikan yang terinfeksi cacing
ini dapat menghasilkan reaksi anafilaktik (alergi) pada manusia yang memakannya
yang sensitif terhadap immunoglobulin E (IgE) (Anonim,
2008). Reaksi anafilaktik inilah yang sering dikenal sebagai ”alergi
makanan laut” atau sea food allergy. Anisakiosis menimbulkan gejala yang tidak
spesifik bahkan sering tidak terdiagnosa namun pada saluran pencernaan manusia
telah terbentuk ulkus akibat memakan larva hidup cacing Anisakis ini. Spesies Anisakidae yang paling sering
menyebabkan penyakit pada manusia (bersifat zoonosis) adalah Anisakis simplex
dan Pseudoterranova decipiens.
Stadium larva infektif cacing parasit ini dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh
ikan terutama organ dalam dan otot sejumlah ikan konsumsi dan yang memiliki
nilai ekonomi tinggi seperti kembung, salmon, cod, makarel dan termasuk
cumi-cumi (Dixon, 2006).
Selain spesies anisakis, spesies Capillaria juga termasuk, Capillaria sp. adalah nama jenis cacing
dari genus nematoda. Cacing ini merupakan parasit pada sistem pencernaan dan
juga pada hati ikan. Capillaria diketahui kerap menyerang ikan Diskus (Symphysodon spp.) dan Angelfish (Pterophyllum spp.). Tanda-tanda penyakit
Pada infestasi ringan capillaria sering tidak menimbulkangejala-gejala yang
berarti. Sedangkan pada infestasi berat biasanya ditandai dengan gejala
“emaciation” atau badan kurus, kehilangan nafsu makan, mengeluarkan kotoran
berwarna putih dan tipis, atau kotoran dengan warna berselang-seling antara
gelap (hitam) dan terang (putih).
Pada ikan mati,
kehadiran cacing ini dapat diketahui dengan melakukan pembedahan dan pengamatan
pada isi perut ikan tersebut. Capillaria
pada umumnya memilki panjang antara 0.5 sampai 2 cm dengan diameter kurang
lebih seukuran dengan rambut. Pada ikan hidup pengamatan dapat dilakukan pada
kotoran ikan dibawah mikroskop, dengan mengamati telur Capillaria yang biasanya
akan turut serta terbawa kotoran ikan yang bersangkutan. Kehadiran Capillaria biasanya disebabkan oleh
penularan dari ikan lain yang telah terinfeksi sebelumnya. Capillaria tidak
memerlukan inang tertentu, sehingga infeksi hanya bisa dilakukan oleh ikan lain
yang terinfeksi (dari ikan ke ikan). Pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan obat-obatan antihelmintic seperti Levamisol atau Piperazine.
Sedangkan pencegahan terhadap penularan dilakukan dengan mengisolasi ikan yang
tertular dari ikan lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari penularan
melalui kotoran yang dikeluarkan. Kotoran ikan yang terinfeksi pada umumnya
akan mengandung telur Capillaria dalam jumlah banyak sehingga akan mudah
menular ke ikan lainnya.
Ascarophis
sp. termasuk Filum Nematoda, Kelas Secernentea, Ordo Spirurida, Sub Ordo
Spirurina dan Genus Ascarophis. Ascarophis merupakan jenis parasit dari
golongan nematode yang memiliki panjang spikula antara 663-729 pM atau 105-108
pM dan memiliki filament pada kedua kutub telurnya sebanyak masing-masing 2-5
buah. Ascarophis jantan memiliki cir –ciri panjang antara 10,2-22,5 mm,
sedangkan yang betina antara 32,8-44,2 mm. Ukuran telur antara 0,030-0,039 mm x
0,015-0,021 mm, dan panjang spicule kiri 0,4-0,6 mm. Pengobatan terhadap ikan
yang terinfeksi dapat dilakukan dengan cara perendaman menggunakan acriflavin
100ppm selama 1 menit atau acriflavin 10ppm selama 60 menit dalam air tawar.
2.5
Gejala Klinis
Ikan budidaya dapat terinfeksi nematoda jika diberi makan pakan hidup yang
mengandung stadia larva dari cacing. Pada umumnya jasad renik makanan ikan
sering menjadi inang antara infektif nematoda, namun ada beberapa jenis
nematoda yang dapat ditransmisikan secara langsung dari ikan ke ikan.Infeksinematoda di
ikandipengaruhiolehbeberapafatordiantaranyajenisdanjumlahnematoda yang
menginfeksi, stadia nematodaterdapatbeberapajenisnematodasepertiEustrongylidestubifexmerupakancacing
yang dapatmenginfeksiikansaat stadia ke 3 (L3) namununtuknematodajenisCapillariadapatmenginfeksiikansaat
stadia telur, stadia ikan, jenisikandanfaktorlingkungan (suhu, suhu yang
digunakanuntukviabilitasdanreproduksicacingnematodaberkisarantara 25-27°C).
Nematodadewasaditemukan di saluranususdanpada stadia nematoda yang lain
(larva) diawalinfeksidapatditemukandiberbagai organ (gelembungrenang,
lapisandalamdarikulitataupunsiripdanlapisandagingbagianluar),
selanjutnyanematodaakanmasukkedalamotot, hatidan di jaringan organ dalam.
Gejalaklinis yang ditimbulkanakbatinfeksinematodaadalahadanyahaemoragi,
pembentukannodul, inflamasi ,nekrosisdanpembentukansiste (granulomas).
Granulomas adalahbagiandarinematoda yang
digunakanuntukresponimunaricacingitusendiri yang berbentuksepertikdindingmati yang
beradadiluartubuhcacing. Granulomas berbentuksepertibatutajam yang
mengelilingitubuhcacingitusendiri.
Nematodadewasa yang
beradapadasaluranususakanmengabsorbsinutrisidariinang yang
menyebabkaninangmengalamidefisiensinutrien (Yanong, 2002). Nematoda yang
menginfeksi organ hatidapatmenimbulkan fibrosis
hatidenganditandaiadanyaatropipadahati.Akibat lain yang
ditimbulkandariinfeksicacingnematodaadalahnekrosispadapiloricaeca, usus,
empedu, ronggaperut yang selanjutnyaakanmenyebabkankematian. Penularancacingnematodadapatbersifatvertikal,
yaitudenganadanyapredasi (Shamsi et al., 2010).
Selamapertumbuhannya,
beberapaspesiesnematodamelakukanmigrasiditubuhikan yang
akanmembentukjalurcacingsepertiterowongan yang
beradadidalamjaringanselainitujugadapatmenyebabkaninflamasidisekitarjalurcacing
“worm tracks”.
denganjumlahmigrasinematoda yang jumlahnyabanyakakanmenyebabkanpengaruh yang
signifikanpadaikanyaituikanakanmengalamipenggelembungan abdominal. Ikanpada
stadia juvenilseringterserangcacingnematodadibandingkanikandewasa.Penyerangannematodapadaikan
stadia juvenilakanberdampakpadapenurunanpertumbuhan yang
selanjutnyaakanmenyebabkankematiansedangkanserangannematodadalamjumlahsedikitpadaindukikanakanmenyebabkanlajuproduktivitas
yang rendahwalaupunikanterlihatsehat . Diagnosis yang
dapatdigunakanuntukmelihatserangannematodapadaikanyaituadanyapertumbuhan yang
mulaimelambat, masabudidaya yang lama, dikulitataudijaringanikan yang
terinfeksinematodaakanterbentuksuatugumpalan (Yanong, 2002).
Gambar3.Cacingnematoda yang beradadidalamsaluranpencernaanikan
|
|
|
Gambar4. (A) telurcacingnematoda yang beradadipembuluhdarah,
(B) telurcacingnematoda yang berada di hati, (C) telurcacingnematoda yang
berada di ginjal(Koponan K, Myers SM 1999).
2.6 Mekanisme
Penyerangan
Siklus Hidup Nematoda dapat hidup
pada tubuh induk semang secara langsung atau dengan inang antara. Siklus hidup
terdiri dari telur, empat stadium larva dan satu stadium dewasa yang berkembang
di inang definitif dan membutuhkan inang antara sebagai perantara. Siklus hidup
nematoda dengan inang antara adalah stadium dewasa pada inang definitif
mengeluarkan larva atau telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi
larva yang hidup bebas di perairan. Larva yang berenang bebas dimakan oleh
inang antara invertebrata seperti kopepoda dan krustacea atau langsung dimakan
oleh inang definitif. Inang antara invertebrata kemudian termakan oleh inang
antara sekunder dan larva mengkista di dalam inang antara tersebut.Stadium
larva yang infektif dapat ditemukan banyak dalam satu inang antara sedangkan
inang definitifnya dapat mengandung banyak cacing dewasa (Roberts, 2012). Ikan dan cumi-cumi dapat bertindak
sebagai inang antara pertama atau inang antara sekunder (Noga, 1996 dalam Batara,
2008). Nematoda dapat memanfaatkan ikan sebagai inang definitif untuk
mencapai dewasa dan sebagian lagi memanfaatkan ikan sebagai inang antara.
Menurut (Grabda, 1991 dalam Batara, 2008) famili Anisakidae memiliki inang
definitif pada burung atau mamalia laut.
Gambar 5. Siklus hidup Nematoda
Camallanus sp. memiliki
siklus hidup yang tidak langsung atau melalui inang antara dan Camallanus sp. betina memiliki vulva
yang terletak ditengah tubuh.Camallanus
sp. dewasa akan melakukan kopulasi dan Camallanus sp. betina akan mengeluarkan
larva (viviparus) ke lumen usus ikan. Larva kemudian dikeluarkan oleh ikan
langsung ke perairan yang nantinya akan dimakan oleh inang antara seperti
kopepoda (Buchmann & Bresciani 2001 dalam Batara, 2008). Menurut Nimai (1999) dalam Batara(2008)didalam
tubuh kopepoda larva migrasi dari saluran pencernaan ke haemocoel pada
cephalothorax dan menjadi infektif di haemocoel. Larva stadium tiga dapat
ditemukan dalam inang antara seperti kopepoda atau inang definitf. Ikan sebagai
inang definitif memakan kopepoda yang mengandung larva kemudian larva
berkembang menjadi dewasa dan melakukan penetrasi dalam usus. Camallanus sp. dapat hidup di usus dan
pylorus sekum pada inang definitifnya dan penyakit yang disebabkan oleh
Camallanus sp. disebut Camallanosis. Buccal capsule dari Camallanus sp. dapat
mengakibatkan erosi pada mukosa usus (Buchmann
& Bresciani, 2001 dalam Batara, 2008). Buccal capsule dilekatkan
pada dinding usus dengan sangat kuat dan menyebabkan jaringan dinding usus
menjadi robek. Jaringan menjadi rusak karena mengalami iskemia
dan dalam waktu yang lama jaringan menjadi nekrosa. Disaat yang sama Camallanus sp. melakukan migrasi ke
jaringan usus yang lain dan kerusakan jaringan dapat ditemukan sepanjang usus.
Kerusakan yang parah dapat menyebabkan infeksi dari parasit lain dan pertahanan
tubuh ikan menurun sehingga dapat menyebabkan ikan mati.
Procamallanus sp. tidak
hanya hidup pada ikan perairan air tawar tetapi
menurut McClelland (2005) Procamallanus
sp. juga ditemukan pada ikan perairan laut dan biasa hidup pada lambung,
usus dan pylorus sekum. Hariyadi (2006)
mengidentifikasi Procamallanus sp.
dari beberapa ikan laut seperti ikan tongkol, ikan kerapu dan ikan ekor kuning.
Procamallanus sp. bersifat viviparus yaitu melepaskan larva dari inang definitf
melalui feses (Kabata 1985). Siklus hidup
dari Procamallanus sp. tidak langsung atau melalui inang antara seperti
kopepoda atau krustacea.
Menurut Moravec
(1975) dalam Molnar et al.(2006) infestasi Camallanus sp. dan Procamallanus
sp. dalam jumlah banyak dapat menyebabkan perforasi pada dinding usus.Procamallanus sp. dan Camallanus sp. menggunakan buccal
capsule untuk menyerap makanan yang dibutuhkan inang, merusak lapisan sel-sel
pada dinding usus dan mengisap darah inang. Biasanya di tempat infestasi
menyebabkan peradangan lokal. Anisakis sp. melibatkan beberapa mamalia laut dan
burung pemakan ikan sebagai inang definitifnya. Menurut
Buchmann & Bresciani (2001) stadium larva 3 yang infektif biasa
terdapat pada ikan-ikan laut dan manusia dapat menjadi inang accidentalapabila
memakan ikan-ikan yang mengandung larva Anisakis sp.
Siklus hidup Anisakis sp. tidak
langsung atau melibatkan inang antara. Inang definitif seperti Singa laut,
Lumba-lumba, Paus dan Anjing laut mengeluarkan telur bersama
feses dan menetas di perairan. Larva stadium pertama terbentuk dalam telur
kemudian menetas menjadi stadium larva kedua dan berenang bebas di perairan
atau setelah menetas langsung dimakan olehkrustacea (Anonimous, 2002). Menurut
Grabda (1991) Anisakis sp. memiliki inang antara pertama dari krustacea famili
Euphausiidae dan udang dari genus Pendulussedangkan inang antara keduanya
adalah ikan seperti Hering, Mackerel dan Red fish. Di dalam tubuh inang antara
kedua, larva berkembang menjadi stadium larva tiga dan menginfeksi ikan. Larva
kemudian melakukan migrasi dari usus ke jaringan dalam rongga tubuh dan dapat
tumbuh mencapai panjang 3 cm. Ketika jaringan inang telah mati maka larva
migrasi ke jaringan otot dan apabila ikan tersebut dimakan oleh ikan lain
terjadi perpindahan dari satu ikan ke ikan yang lain (Anonimous,2002).
Menurut McClelland (2005) infestasi Anisakis
sp. dapat menyebabkan lesio atau hemoragi pada lambung dan mukosa usus. Anisakis sp. apabila terakumulasi dapat
menyebabkan gastritis dan ulkus pada usus. Anisakis
sp. merupakan parasit kosmopolit yangbersifat zoonosis dan menginfeksi
manusia yang dikenal dengan Anisakiasis atau Anisakiosis bila mengkonsumsi ikan
yang mengandung larva parasit Anisakis sp. stadium tiga.
Anisakiasis atau Anisakiosis dapat
disebabkan oleh spesies lain seperti Pseudoterranova
decipiens dan Contracaecum spp.
Menurut Noble & Noble (1989) larva hidup
yang berada di dalam usus atau organ-organ dalam lainnya dapat bermigrasi ke
dalam daging ikan setelah ikan mati. Menurut Moller
& Anders (1986) ketika ikan mati dan terjadi proses autolisis dalam
tubuh inang, maka Anisakis sp. dapat bertahan atau cenderung menyelamatkan diri
dan keluar dari kapsul selubungnya untuk berpenetrasi ke dalam urat daging.
Larva Anisakis sp. yang menyerang
urat daging bersifat zoonosis jika dimakan dalam keadaan mentah atau setengah
matang sehingga dibutuhkan pencegahan infeksi untuk membunuh larva Anisakis sp. Koie
(2001) dalam Hariyadi (2006) melaporkan bahwa setelah masuk ke dalam
tubuh inang, larva Anisakis sp. stadium tiga melakukan enkapsulasi di jaringan
otot ikan Gasterosteus aculeatus
(stickleback) dan Plathichthys flesus
(ikan sebelah) dimana larva tersebut dapat bertahan hidup sampai 2 tahun.
Anisakiosis dapat menyebabkan eosinophilik
granuloma yang disebabkan karena larva Anisakis
sp. dapat menembus dinding usus dan apabila menyerang dinding lambung dapat
menyebabkan pembentukan gastrik granuloma (Cheng,
1973). Menurut Grabda (1991) larva Anisakis sp. ketika berada dalam usus manusia
akan menembus mukosa dan submukosa usus dan menimbulkan luka yang luas. Gejala
klinis tidak spesifik, dapat timbul 4 jam setelah mengkonsumsi ikan dan pada
umumnya terlihat dalam waktu 24 jam seperti sakit perut, diare, demam dan
muntah. Pada kasus akut dapat terjadi gastritis dan perforasi pada saluran
pencernaan.
2.7
Pencegahan Dan Pengobatan
Larva
udang yang terinfeksi nematoda diobati dengan cara udang direndam dalam 25 ppm
formalin selama 1 jam dan pada Udang dewasa diobati dengan cara udang direndam
dalam 50 ppm formalin selama 3 jam (Kordi, 2009).
Jenis-jenis nematoda yang kerap menyerang ikan adalah Trichuridea Sp, Heteroceilidae
sp, Camallanus sp, dan Spinitectus sp. Gejala yang kerap muncul
bila ikan terserang penyakit ini adalah ikan menjadi kurang nafsu makan,
terjadi implamasi, hemoragik, pembengkakan di perut, produksi lendir secara
berlebihan, atau mengalami kerusakan fisik lainnya.
Keempat
species diatas Pengendaliannya yang bisa dilakukan adalah dengan merendamkan
ikan dalam larutan PK 5 mg/l selama 30 menit, pemberian garam dapur 40 mg/l
selama 24 jam, serta larutal methylen blue 4 gr/m3. Pada pencegahan, sebaiknya
pada pakan alami dilakukan treatment terlebih dahulu, seperti dengan merendam
pakan alami dengan larutan PK 5 mg/l selama 30 menit atau dengan disinfeksi
telur menggunakan dylox 0,8 pp atau ziram 1 ppm (Kordi,2004).Species
Capillaria sp biasanya disebabkan oleh penularan dari ikan lain yang telah
terinfeksi sebelumnya. Capillaria tidak memerlukan inang tertentu, sehingga infeksi
hanya bisa dilakukan oleh ikan lain yang terinfeksi (dari ikan ke ikan).
Pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan obat-obatan antihelmintic seperti Levamisol atau
Piperazine. Sedangkan pencegahan terhadap penularan dilakukan dengan
mengisolasi ikan yang tertular dari ikan lainnya. Hal ini dilakukan untuk
menghindari penularan melalui kotoran yang dikeluarkan. Kotoran ikan yang
terinfeksi pada umumnya akan mengandung telur Capillaria dalam jumlah banyak sehingga akan mudah menular ke ikan
lainnya.Species Ascarophis Sp,
termasuk Filum Nematoda, Kelas Secernentea, Ordo Spirurida, Sub Ordo Spirurina
dan Genus Ascarophis. Ascarophis merupakan jenis parasit dari golongan nematode
yang memiliki panjang spikula antara 663-729 pM atau 105-108 pM dan memiliki
filament pada kedua kutub telurnya sebanyak masing-masing 2-5 buah. Ascarophis
jantan memiliki cir –ciri panjang antara 10,2-22,5 mm, sedangkan yang betina
antara 32,8-44,2 mm. Ukuran telur antara 0,030-0,039 mm x 0,015-0,021 mm, dan
panjang spicule kiri 0,4-0,6 mm.
Pengobatan terhadap
ikan yang terinfeksi dapat dilakukan dengan cara perendaman menggunakan
acriflavin 100 ppm selama 1 menit atau acriflavin 10 ppm selama 60 menit dalam
air tawar.Spesies Anisakis sp, termasuk golongan Nematoda berbahaya karena
dapat menjadi patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (zoonosis)
(Anshary, 2011). Pencegahan cacing Anisakis sp agar tidak menginfeksi manusia
yaitu : sebelum dimakan ikan dipanaskan dengan suhu >600C, Sebelum
dimakan mentah, ikan dibekukan dengan suhu 200C selama 7 hari, Lebih
baik mengkonsumsi ikan budidaya dari pada ikan liar. Pengobatan pada ikan yang
terinfeksi Anisakis sp yaitu dengan menggunakan obat Albendazole. Sedangkan
pencegahannya dilakukan pemeriksaan fisik pada ikan untuk candling adanya larva
cacing.
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
Setiap jenis nematoda memiliki
berbagai macam siklus hidupnya. Sehingga siklus hidup nematoda dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu siklus hidup langsung (tidak memerlukan inang
perantara) dan siklus hidup tidak langsung (membutuhkan inang perntara).
3.2.
Saran
Banyak jenis-jenis nematoda yang
menyerang ikan lainnya yang belum dapat dijelaskan lebih rinci dalam paper ini,
oleh karena itu perlu kajian lebih mendalam dan lebih aktif mencari materi di
internet ataupun buku maupun jurnal ilmiah lainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshary,
2011. Identifikasi molekuler dengan teknik pcr-rflp larva parasit Anisakis spp (Nematoda: Anisakidae) pada ikan tongkol (auxis thazard) dan kembung (rastrelliger kanagurta) dari perairan
makassar. Jurnal
Perikanan (J. Fish. Sci.) XIII (2): 70-77 ISSN: 0853-6384
Anshary,
H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata Kuliah
Parasitologi Ikan. Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP).
Universitas Hasanuddin. Makassar. 126 hal.
Balai
Karantina Ikan Batam. 2007. Laporan Pemantauan HPI/HPIK Tahun 2007. Balai
Karantina Ikan Batam. Batam. 52 hal.
Batara,
Rinaldi Josi. 2008. Deskripsi
Morfologi Cacing Nematoda Pada Saluran Pencernaan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dan Ikan Kakap
Merah (Lutjanus Spp.). Skripsi Institut Pertanian Bogor.
Buchmann
K & Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of Freshwater
Trout. Denmark: DSR Publisher.
Cheng
T. 1973. General Parasitology. New York: Academic Press.
Cheng TC. 1973.
General Parasitology. London: Academic Press Inc.
Dick
TA, Choundry A. 1987. Nematoda. Di dalam: Woo PTK, editor. Fish Disease and
Disorders. Vol 1, Protozoa and Metazoa Infections. CAB Internasional. hlm
415-423.
Ghufran.
2004. Avertebrata Air Untuk Mahasiswa Perikanan. Fakultas Perikanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Grabda J. 1991.
Marine Fish Parasitology. New York: An outline. Polish Scientifitic Publisher.
Grabda
J. 1991. Marine Fish Parasitology. Poland: Polish Scientific Publishers, Warsawa.
Hassan,
M. 2008. Parasites of Native and Exotic Freshwater Fishes in the South-West of
Western Australia. Thesis. Murdoch University. Perth, Western Australia. 173
hal.
Hirschmann
H. 1960. Reproduction of Nematodes. In Sasser JN & Jenkins WR, eds.
Nematology. Chapel Hill. Univ. N. Car. Press. Hlm 140-167.
Irawan
.2004. Budidaya Ikan Ait Tawar. Ikan Gurame, Ikan Nila. Kanisius. Yogyakrta.
Koponen K, Myers SM.1999. Seosonal change in
interorgan occurrence of nematoda in freash water beam. Fish Biological. 56:250-263.
Kordi
.2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. C.V. Aneka. Solo.
Kordi
.2004. Penanggulangan Hama
dan Penyakit Ikan. C.V. Aneka. Solo. Kusumamihardja S. 1989. Diktat
Parasitologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.Yanong RPE. 2002. Nematode
(Roundworm) Infection in Fish. Sirkular 911:33570-3434.
Kordi, 2009.
Budidaya Perairan. PT Citra Aditya
Bakti. Bandung
Kusumamihardja
S. 1989. Diktat Parasitologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yanong RPE.
2002. Nematode (Roundworm) Infection in Fish. Sirkular 911:33570-3434.
Levine
ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Prof. Dr. Gatut Ashadi,
Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noble
ER dan Noble GA. 1989. Parasitology : The Biology Of Animal Parasites. Edisi
ke-5. Alih Bahasa; Wardiarto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noble
ER, Noble GA. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. Wardiarto,
Penerjemah; Soeripto N. Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites 5th edition.
Noga
EJ. 1996. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Boston: Mosby Year Book.
Noga
EJ. 1996. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Mosby-Year Book, Inc., St
Louis, MO, pp. 163-170.
Riauwaty.
2004. Ancaman Endoparasit Pada Pembenihan Ikan Gurame diBanyumas dan Upaya
Penanggulangannya. Seminar Nasional Penyakit Ikandan Udang.
Roberts,
Ronald J. 2012. Fish Patology Fourth
Edition. Pg 303-304.
Ruckert,
S., S.Klimpel, S. Al-Quraishy, H. Mehlhorn, and H.W. Palm. 2009. Transmission
of Fish Parasites into Grouper Mariculture (Serranidae: Epinephelus coioides
(Hamilton, 1882)) in Lampung Bay, Indonesia. Journal Parasitology Reseach
(2009) 104: 523-532.
Shamsi S, EisenbarthA,Saaptarshi S, Baveridge I,
Gasser BR, Lopata LA. 2010. Occurance and abundance of nematoda in five species
of fish from southern Australian waters. Springer-Verlag.
22:1-8.
Soulsby
EJL. 1982. Helminths, Anthropodhs and Protozoa of Domesticated Animals. Edisi
ke-7. London: Baillire Tindall.
Subekti,
S. dan G. Mahasri. 2010. Buku Ajar Parasit dan Penyakit Ikan (Trematodiasis dan
Cestodiasis). Global Persada Press. Surabaya. 91 hal.
Yanong EPR.2002. Nematode infection in fish.Aquaculture.91:1-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar